Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ANKARA - Sejak gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,8 magnitudo melanda Turki pada Senin (6/2/2023) lalu, negara itu memerlukan operasi penyelamatan besar-besaran yang diharapkan tersebar pada 10 dari 81 provinsi di Turki.
Namun ternyata butuh waktu untuk membangun respons cepat, bahkan beberapa desa tidak dapat dijangkau selama berhari-hari.
Setelah cukup lama menunggu, lebih dari 30.000 orang dari sektor profesional dan sukarela akhirnya tiba, bersama tim dari banyak negara lainnya.
Lebih dari 6.000 bangunan runtuh dan pekerja dari otoritas bencana AFAD Turki sendiri justru terjebak dalam gempa bumi tersebut.
Baca juga: KSAU Ingatkan Kru Pesawat yang Terlibat Misi Kemanusiaan Korban Gempa Turki Utamakan Keselamatan
Dikutip dari laman BBC, Minggu (12/2/2023), jam-jam awal itu memang sangat kritis, namun akses jalan rusak dan tim SAR berjuang untuk melewatinya sampai hari kedua atau hari ketiga.
Turki sebenarnya memiliki lebih banyak pengalaman gempa dibandingkan hampir semua negara lainnya.
Namun pendiri kelompok penyelamat sukarelawan utama meyakini bahwa 'kali ini' kepentingan politik telah menjadi penghalang.
Setelah bencana gempa bumi besar terakhir terjadi pada Agustus 1999, angkatan bersenjata lah yang memimpin operasi tersebut, namun pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan berusaha mengekang kekuasaan mereka di masyarakat Turki.
"Di seluruh dunia, organisasi yang paling terorganisir dan kuat secara logistik adalah angkatan bersenjata, mereka memiliki sarana yang sangat besar di tangan mereka. Jadi, anda harus menggunakan ini dalam merespons bencana," kata Ketua Yayasan Akut, Nasuh Mahruki.
Sebaliknya, otoritas bencana sipil Turki lah yang kini berperan, dengan stafnya mencapai 10.000 hingga 15.000, dibantu oleh kelompok non-pemerintah seperti Akut yang memiliki 3.000 sukarelawan.
Potensi militer saat ini, kata dia, jauh lebih besar dibandingkan tahun 1999.
Baca juga: Ahli Geologi Telah Peringatkan Pemerintah Turki soal Potensi Gempa Dahsyat
"Namun mereka tidak bisa bekerja, karena harus menunggu perintah dari pemerintah. Ini menyebabkan penundaan dimulainya operasi penyelamatan dan pencarian," tegas Mahruki.
Erdogan telah menyadari bahwa upaya pencarian korban gempa saat ini tidak secepat yang diinginkan pemerintah, meskipun Turki memiliki 'tim pencarian dan penyelamatan terbesar di dunia saat ini'.