Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, KHARTOUM - Pertempuran kembali terjadi di Khartoum, ibu kota Sudan pada hari Minggu kemarin, saat utusan dari pihak-pihak yang bertikai di negara itu berada di Arab Saudi untuk melakukan dialog.
Dialog tersebut diharapkan mediator internasional akan mengakhiri konflik tiga minggu yang telah menewaskan ratusan orang dan memicu terjadinya eksodus.
Inisiatif Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi merupakan upaya serius pertama untuk mengakhiri pertempuran antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang telah mengubah sebagian ibu kota Sudan menjadi zona perang.
Perang ini tentu menggagalkan rencana yang didukung internasional untuk mengantarkan negara itu ke masa transisi pemerintahan sipil setelah bertahun-tahun.
Yang terjadi saat ini adalah kerusuhan dan pemberontakan yang menciptakan krisis kemanusiaan.
Baca juga: Perwakilan Angkatan Bersenjata Sudan & RSF Tiba di Arab Saudi Bahas Gencatan Senjata
Dikutip dari laman Al Jazeera, Senin (8/5/2023), pihak yang bertikai mengatakan bahwa dialog itu membahas masalah kemanusiaan dan tidak menegosiasikan diakhirinya perang.
"Arab Saudi akan mengalokasikan 100 juta dolar AS dalam bantuan kemanusiaan ke Sudan," kata televisi Al Ekhbariya yang dikelola pemerintah Arab Saudi.
Pertempuran yang dimulai sejak pertengahan April lalu itu tidak hanya telah menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan lainnya saja, namun juga mengganggu pasokan bantuan dan membuat 100.000 orang melarikan diri ke luar negeri.
Seorang penduduk distrik Haji Yousif di Khartoum timur laut, Ahmed al-Amin pada hari Minggu kemarin mengatakan bahwa ia 'melihat jet tempur terbang di atas kepalanya dan mendengar suara ledakan dan tembakan anti pesawat'.
Sedangkan seorang Dokter Laboratorium berusia 28 tahun, Manahil Salah yang tengah dalam penerbangan evakuasi dari Port Sudan ke Uni Emirat Arab (UEA), mengatakan bahwa keluarganya bersembunyi selama tiga hari di rumah mereka dekat markas SAF di ibu kota, sebelum akhirnya melakukan perjalanan ke Pantai Laut Merah.
"Ya, saya bersyukur bisa bertahan hidup. Tapi saya merasakan kesedihan yang mendalam karena saya meninggalkan ibu dan ayah saya di Sudan, dan sedih karena semua rasa sakit ini terjadi di tanah air saya," kata Salah.
Ribuan orang tidak hanya mencoba untuk meninggalkan Port Sudan menggunakan perahu ke Arab Saudi.
Namun juga membayar penerbangan komersial yang mahal melalui satu-satunya bandara yang berfungsi di negara itu atau menggunakan penerbangan evakuasi.
"Kami beruntung melakukan perjalanan ke Abu Dhabi, tetapi apa yang terjadi di Khartoum, tempat saya menghabiskan seluruh hidup saya, sangat menyakitkan. Meninggalkan hidup anda dan kenangan anda adalah sesuatu yang tak terlukiskan," kata Abdulkader, pria berusia 75 tahun yang juga mengikuti penerbangan evakuasi ke UEA.