TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson menyinggung soal aksi pembakaran Al Quran di negaranya.
Kristersson mengatakan, aksi pembakaran Al Quran adalah tindakan destruktif yang merusak keamanan Swedia.
Dalam Facebook-nya, Kristersson mendesak masyarakat untuk memahami bahwa situasinya sangat serius.
"Peristiwa destruktif terbaru – khususnya, berbagai insiden pembakaran demonstratif – telah meningkatkan risiko bagi Swedia," tulisnya, dikutip dari RT.
Kristersson mengatakan, menurut penilaian polisi, Swedia bisa saja menjadi target prioritas dari serangan teroris.
Ia juga memperingatkan bahwa Swedia dalam bahaya, karena menjadi pion dalam permainan yang dimainkan oleh kekuatan luar.
Baca juga: Protes Pembakaran Al-Qur’an Bikin PM Swedia ‘Sangat Prihatin’
Dimanfaatkan Rusia
Kasus pembakaran Al Quran di Swedia ini ternyata juga dimanfaatkan oleh Rusia.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Komunikasi Badan Pertahanan Psikologi Swedia, Mikael Ostlund.
Ostlund menuduh Rusia telah menggunakan insiden pembakaran Al Quran dalam kampanye disinformasi untuk memecah belah Barat.
Selain itu, kata Ostlund, Rusia juga menciptakan peningkatan kecemasan dan polarisasi di Swedia.
Baca juga: PM Swedia Salahkan Rusia soal Pembakaran Alquran di Stockholm: Mereka Sebar Propaganda
"Untuk memecah belah kita di Barat dan juga untuk menciptakan peningkatan kecemasan dan polarisasi di sini di Swedia," katanya, masih dikutip dari RT.
Ostlund mengklaim bahwa Rusia juga mencoba untuk mempersulit Rusia untuk bergabung dengan NATO.
Menguji Kebebasan Berekspresi
Sementara itu, Profesor di Fakultas hukum Universitas Stockholm, Marten Schultz mengatakan, insiden ini telah menguji kebebasan berekspresi di Swedia.
Bagi orang Swedia, masalah ini menimbulkan dilema besar, karena yang dipertaruhkan adalah hak fundamental dan bersejarah sejak 1766.
Baca juga: Populer Internasional: Atap Sekolah Ambruk di China - Alasan Swedia Biarkan Aksi Pembakaran Al Quran
"Swedia memiliki salah satu perlindungan hukum terkuat di dunia untuk kebebasan berekspresi," kata Schultz, dikutip dari BBC.
Negara Nordik itu juga membatalkan undang-undang penistaan agama pada tahun 1970-an.
Konstitusinya menjamin hak atas kebebasan berekspresi tentang subjek apa pun, termasuk "ekspresi pendapat yang mempertanyakan pesan-pesan agama, atau yang dapat dianggap menyakitkan bagi penganutnya".
Tetapi pemerintahnya yang dipimpin kanan-tengah sekarang mempertimbangkan kemungkinan perubahan undang-undang yang memungkinkan pembakaran Al Quran di Stockholm terjadi.
Itu karena polisi awalnya menolak untuk mengizinkan dua pembakaran Al Quran yang direncanakan awal tahun ini, karena risiko menjadikan Swedia sebagai "target serangan dengan prioritas lebih tinggi".
Baca juga: Alasan Swedia Membiarkan Aksi Pembakaran Al Quran Meski Mendapat Kecaman Internasional
Mereka mengutip undang-undang Ketertiban Umum atau Ordningslag, sebagai pembenaran atas pelarangan tersebut.
Namun kemudian pengadilan menolak polisi, dengan alasan bahwa risiko keamanan tidak memiliki hubungan yang cukup jelas dengan pertemuan yang direncanakan atau lingkungan sekitar mereka untuk menolak izin.
Berdasarkan undang-undang, pertemuan hanya dapat dilarang jika dianggap mengancam keselamatan publik.
Ketika izin diberikan kepada seorang pengungsi Kristen Irak minggu lalu, itu adalah aksi keduanya dalam sebulan, meskipun ia berhenti membakar Al Quran.
Kritikus telah menunjukkan bahwa Swedia memang memiliki undang-undang yang melarang penghasutan terhadap kelompok etnis, yang berlaku sejak 1949 sebagai tanggapan atas Holocaust.
Baca juga: Sejumlah Aksi Pembakaran Al-Quran di Swedia hingga Mendapat Kecaman Internasional
Namun para ahli mengatakan pembakaran Al Quran menyasar buku, bukan orang atau individu, sehingga pembacaan hukum ini tidak tepat dalam konteks pelarangan pertemuan.
"Kebebasan berbicara adalah bagian dari budaya hukum kami," kata Profesor Schultz.
"Ini bukan hanya hukum tetapi nilai fundamental," lanjutnya.
Tapi itu harus dibayar mahal.
Keputusan pengadilan untuk mengizinkan protes semacam itu membuat marah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hampir menggagalkan upaya Swedia untuk bergabung dengan aliansi militer NATO.
Pembakaran buku dan kampanye disinformasi telah mengubah citra Swedia "dari negara toleran menjadi negara yang memusuhi Islam dan Muslim", menurut dinas keamanan Swedia.
(Tribunnews.com/Whiesa)