Sebanyak 250 Ribu Tentara Rusia Tewas dalam Perang Lawan Ukraina, Kenapa Putin Tetap Tenang?
TRIBUNNEWS.COM - Ukraina lewat juru bicara pemerintahan di Kiev mengklaim, lebih dari seperempat juta tentara Rusia tewas dalam perang yang sedang berlangsung sejak Presiden Rusia Vladimir Putin memproklamirkan invasi ke Ukraina.
Namun, terlepas dari korban jiwa yang luar biasa banyak itu, tidak ada tanda-tanda kalau Rusia bakal kehabisan pasukan.
Staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina pada Senin (7/8/2023), mengklaim kalau total personel militer Rusia yang "dilenyapkan" telah melampaui 250.000 orang.
"Berapa pun angka sebenarnya, kombinasi dari (program) wajib militer dan insentif keuangan yang menggiurkan memastikan kalau misi pemimpin Rusia di Ukraina tidak mungkin berakhir dalam waktu dekat," tulis Newsweek dalam ulasan kenapa calon tentara Rusia terus bermunculan.
Baca juga: Rusia Tugaskan Pejuang Elite Chechnya Jaga Kota Nuklir yang Direbut dari Ukraina
Perang Jadi Jalan ke Luar dari Kemiskinan
"Bagi orang-orang yang tinggal di kota kecil, desa, dan penjara, perang adalah pilihan untuk mendapatkan uang 10 kali lebih banyak daripada sebelumnya," kata Boris Grozovski, pakar ekonomi Rusia dari think tank Wilson Center, dilansir Newsweek.
"Jadi mereka dan keluarganya, melihat perang sebagai undian untuk keluar dari kemiskinan."
“Mereka melihatnya sebagai kesempatan,” katanya dengan membandingkan situasi saat ini dengan kolektivisasi (mengubah sipil menjadi pasukan perang) yang terjadi di Uni Soviet antara 1929 dan 1933.
Grozovski juga menganilisis, pemerintah di Moskow memberikan kesempatan kepada petani dan pekerja termiskin untuk bergabung dan memperbaiki situasi ekonomi mereka.
Jika mereka berperang melawan negara tetangga mereka, peluang ke luar dari kemiskinan akan semakin besar.
"Sekarang Putin berkata kepada orang Rusia yang miskin: 'Pergi dan bunuh orang Ukraina. Jika Anda beruntung dan kembali hidup, Anda akan menjadi kaya. Jika Anda mati, keluarga Anda akan mendapat banyak uang dari pemerintah," kata dia.
Segera setelah dimulainya perang melawan Ukraina, Putin meminta Dewan Keamanan Rusia pada Maret 2022 agar keluarga tentara Rusia yang terbunuh di Ukraina diberikan hampir 7,5 juta rubel (77.000 dolar AS) dan pembayaran tambahan serta "kompensasi bulanan".
Seperti yang dilaporkan Newsweek pada Mei, hasil riset Yayasan Korban Perang Ukraina, menemukan bahwa gaji rata-rata untuk pekerjaan yang "terlibat langsung" dengan perang mencapai 300.000 rubel, jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional sekitar 63.000 rubel.
Sepanjang perang, ada banyak laporan tentang pasukan Rusia yang mengeluh bahwa mereka dan keluarga mereka belum menerima pembayaran atas upaya mereka di medan perang, tetapi insentif yang diiklankan sangat menarik.
Beberapa pekerjaan menawarkan pembayaran di muka hingga 450.000 rubel, ditambah gaji bulanan 400.000 rubel, klaim yayasan tersebut.
Ada pula yang menawarkan 500.000 rubel sebulan.
Pasukan juga ditawari bantuan dalam kewajiban kredit dan hutang mereka, yang biasanya tidak tersedia bagi mereka yang melakukan pekerjaan biasa.
Denda Bagi yang Menolak Wamil
Kondisi itu kontras dengan kesulitan keuangan yang meningkat bagi warga yang enggan bergabung ke militer Rusia.
Terlebih setelah undang-undang yang disahkan oleh parlemen Rusia, yang menaikkan usia maksimum untuk wajib militer dari 27 menjadi 30 tahun.
Tidak mengacuhkan pemberitahuan panggilan yang dikeluarkan secara online bisa membuat seseorang dilarang mendaftarkan real estate, atau menerima pinjaman bank.
Mereka yang menolak wajib militer juga akan menghadapi denda yang telah dinaikkan 10 kali lipat menjadi 30.000 rubel untuk perorangan.
"Bagi banyak orang miskin, perang adalah pilihan untuk menyelesaikan urusan mereka," kata Grozovski.
"Mereka mengambil opsi ini, karena tidak memiliki opsi lain untuk memperbaiki situasi mereka secara signifikan. Pembangunan sistem sosial semacam itu adalah salah satu kejahatan terbesar Putin."
Pekan lalu, Reuters melaporkan peningkatan dua kali lipat dari pengeluaran militer tahunan Rusia menjadi lebih dari 100 miliar dolar AS untuk tahun 2023, sepertiga dari keseluruhan pengeluaran pemerintah.
Jumlah Korban Tidak Akurat
Grozovski mengatakan peningkatan besar dalam pengeluaran militer telah membawa defisit negara sebesar 2,6 triliun rubel untuk paruh pertama tahun ini.
Angka defisit mendekati ukuran yang direncanakan pemerintah untuk keseluruhan tahun 2023.
Statistik angka-angka yang membengkak dampak perang Rusia-Ukraina itu lebih mudah ditunjukkan ketimbang berapa korban jiwa yang jatus selama perang.
Angka korban yang akurat sulit didapat baik dari pihak Rusia maupun Ukraina.
Moskow belum memperbarui penghitungannya dari September 2022 yang mengklaim hanya di bawah 6.000 personel.
Sementara beberapa ahli, meragukan klaim Ukraina atas korban dari pihak Rusia.
Adapun Kyiv sama-sama bungkam tentang berapa jumlah kehilangan pasukannya.
Setelah menganalisis obituari, data kematian dari Layanan Statistik Negara Bagian Federal, dan catatan Registrasi Pengesahan Hakim Nasional, outlet berita independen berbahasa Rusia Meduza dan Media Zone mengatakan hingga 55.000 pria Rusia di bawah 50 tahun tewas dalam pertempuran di Ukraina pada akhir Mei.
"Tidak mungkin untuk memverifikasi angka-angka ini secara independen," kata analis keamanan kebijakan luar negeri yang berbasis di Kyiv, Jimmy Rushton.
“Tetapi bahkan jika angka yang lebih rendah lebih akurat, jelas bahwa Rusia telah kehilangan banyak pasukan, sekitar enam kali jumlah pasukan Soviet yang tewas dalam hampir satu dekade di Afghanistan,” kata dia.
(oln/Reuters/NW/*)