TRIBUNNEWS.COM - Korea Utara (Korut) mengecam Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) karena melakukan latihan militer bersama yang rutin digelar setiap tahun.
Pyongyang memperingatkan bahwa latihan tersebut dapat memicu "perang termonuklir" yang belum pernah terjadi sebelumnya di Semenanjung Korea, lapor Korea Times.
Korea Utara juga menuduh Seoul, Washington dan Tokyo mengadakan pertemuan puncak trilateral mereka di Camp David pekan lalu, Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) dalam sebuah komentar, dikutip dari Yonhap.
Tujuan pertemuan itu disebut-sebut menyepakati serangkaian dokumen yang berisi rinican rencana dan rumusan provokasi perang nuklir.
“Perang termonuklir skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya semakin mendekati Semenanjung Korea sebagai kenyataan,” kata KCNA dalam laporan berbahasa Inggris.
Baca juga: Takut Diinvasi, Hacker Korea Utara Coba Curi Informasi Latihan Militer AS - Korea Selatan
Laporan itu seraya menambahkan bahwa latihan militer sekutu bersifat “agresif”, kemungkinan besar melibatkan aset strategis nuklir AS.
Latihan tahunan Ulchi Freedom Shield, berdasarkan skenario perang habis-habisan, memulai berbagai latihan darurat selama 11 hari pada Senin (21/8/2023).
Kegiatan ini seperti latihan pos komando berbasis simulasi komputer, pelatihan lapangan bersamaan, dan latihan pertahanan sipil Ulchi.
Korea Utara telah lama mengecam latihan militer Seoul-Washington sebagai latihan invasi, dikutip dari Korea Herald.
PBB Kecam Korea Utara Prioritaskan Program Nuklir
Beberapa anggota Dewan Keamanan PBB pada hari Kamis (17/6/2023) mengecam Korea Utara atas semakin memburuknya catatan hak asasi manusia.
Rezim pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dikritik karena mengalokasikan sumber daya yang cukup besar untuk program senjata nuklirnya, lapor Ap News.
Baca juga: Intelijen Blockchain: Korea Utara Kantongi Kripto Curian Hingga 200 Juta Dolar AS Selama 2023
Padahal, banyak orang tidak dapat mengakses kebutuhan dasar karena situasi ekonomi yang memburuk.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, mengatakan pada pertemuan terbuka pertama Dewan Keamanan sejak 2017 tentang hak asasi manusia Korea Utara bahwa rakyat negara itu telah mengalami masa kesulitan ekonomi dan penindasan terparah, tetapi "saat ini mereka tampaknya menderita keduanya."
"Menurut informasi yang kami terima, masyarakat menjadi semakin putus asa karena pasar informal dan mekanisme penanggulangan lainnya dibongkar, sementara ketakutan mereka akan pengawasan, penangkapan, interogasi, dan penahanan oleh negara semakin meningkat," katanya.
Türk mengaitkan banyaknya pelanggaran dengan meningkatnya militerisasi Korea Utara, yang mengindikasikan bahwa insiden terkait atau secara langsung mendukung ambisi militer negara tersebut.
Dia menunjukkan adanya kerja paksa yang lazim, termasuk di antara pekerjanya adalah anak-anak, untuk meningkatkan kemampuan militer negara dan upaya pembuatan senjata.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)