TRIBUNNEWS.COM - Konflik Israel dan Palestina adalah permasalahan internasional yang masih berlanjut hingga kini.
Hampir setengah dari 2,3 juta orang terjebak di Gaza, anak-anak menderita dampak mental dan emosional akibat blokade dan kekerasan selama bertahun-tahun.
Konflik tersebut juga membuat para orang tua di Gaza berjuang untuk menjaga anak-anak mereka tetap hidup dan sehat secara mental.
"Saya tidak tega melihat anak-anak saya gemetar dan wajah mereka pucat karena ketakutan. Itu terlalu menyakitkan. Hari ini cukup muntah beberapa kali karena panik dan takut," ujar seorang Ibu di Palestina yang bernama Esraa, (16/10/2023), dikutip dari Al Jazeera.
Banyak orang tua memanfaatkan keterbatasan akses internet yang mereka miliki untuk mencari motivasi dalam menghibur anak-anak mereka di platform seperti YouTube dan kelompok dukungan WhatsApp.
"Saya menemukan banyak video YouTube yang bermanfaat selama perang, seperti tentang cara berbicara dengan anak-anak. Penting untuk terlibat dalam percakapan dengan mereka dan mendiskusikan apa yang terjadi di sekitar mereka," jelas Esraa.
Baca juga: Ketika Orang Yahudi Berjuang dari Kejauhan untuk Warga Palestina di Gaza
Esraa belajar bagaimana menjaga anak-anak tetap terhibur selama konflik.
Salah satu caranya adalah dengan mengurangi pembatasan waktu pemakaian perangkat.
"Saya biasanya membatasi penggunaan iPad anak-anak saya, namun mengingat keadaan yang menyedihkan ini, saya mengizinkan mereka menonton film kartun untuk menghibur diri mereka sendiri. Saya memastikan iPad atau ponsel saya tetap terisi dayanya saat mereka menonton (dalam keadaan darurat)," jelasnya.
Esraa juga membacakan cerita untuk anak-anaknya.
Selain Esraa, ada pula seorang ibu bernama Rawan yang berusia 30 tahun menceritakan bagaimana ia menghibur anak-anaknya.
Ketika putrinya bertanya tentang perang yang sedang berlangsung, Rawan mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan menunjukkan foto dan video saat-saat bahagia atau mengajak mereka bermain, membaca bersama, dan berpelukan.
Berbeda dengan Esraa, Rawan merasa harus membatasi penggunaan ponsel dan iPad oleh anak-anaknya untuk hiburan, karena perangkat ini sangat penting dalam keadaan darurat.
Dia juga mencoba membatasi paparan mereka terhadap berita dengan mematikan televisi selama liputan terkait perang.