TRIBUNNEWS.COM - Kepala Kantor Presiden Ukraina, Andriy Yermak mengatakan jika Amerika Serikat (AS) menunda bantuan militer ke Ukraina, ada risiko besar menanti.
"Ukraina akan kalah perang dengan Rusia (jika bantuan tertunda)," kata Yermak pada Selasa (5/12/2023), dikutip dari NBC News.
Berbicara di Institut Perdamaian AS saat berkunjung ke Washington, Yermak menyoroti kegagalan Kongres untuk menggelontorkan lebih banyak bantuan ke Ukraina.
Menurutnya, itu dapat membuat Ukraina mustahil bisa membebaskan lebih banyak wilayah yang direbut oleh Rusia.
"Jika bantuan yang sedang dibahas di Kongres ditunda, hal ini memberikan risiko besar bahwa posisi kita tetap sama seperti saat ini," ucap Yermak, dalam bahasa Inggris.
"Itulah mengapa sangat penting agar dukungan ini disetujui dan disahkan sesegera mungkin," harapnya.
Baca juga: Nepal Minta Rusia Berhenti Kirimkan Pasukan Gurkha ke Medan Perang di Ukraina
Sementara itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky dijadwalkan berbicara dengan anggota parlemen AS melalui panggilan video untuk mengajukan banding agar paket bantuan yang diminta Presiden AS, Joe Biden disetujui.
"Ukraina sangat menghargai dukungan AS dan Eropa sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022," urai Yermak.
Namun, Kyiv masih butuh lebih banyak senjata untuk mempertahankan diri dan melindungi warga sipil, termasuk rudal jarak jauh dan sistem pertahanan udara.
"Ukraina telah menunjukkan bahwa mereka mampu memanfaatkan senjata dan amunisi yang dikirimkan sejauh ini dengan baik," tambahnya.
AS kehabisan uang
Sebelumnya, pemerintah AS mengaku kehabisan uang untuk membantu Ukraina yang kini berperang melawan Rusia.
"Kita kehabisan uang dan sebentar lagi kehabisan waktu untuk membantu Ukraina,"tulis Direktur Anggaran Gedung Putih, Shalanda Young, dalam suratnya kepada Ketua DPR AS Mike Johnson, dikutip dari Euro News.
"Jika Parlemen tidak bertindak, pada akhir tahun ini kita akan kehabisan sumber daya untuk mengirimkan lebih banyak senjata dan peralatan ke Ukraina dan memasok material dari gudang militer AS," kata dia menambakan.
Sementara itu, dalam konferensi pers, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan Parlemen AS harus segera menentukan pilihan.
"Parlemen harus memutuskan apakah akan terus mendukung perjuangan demi kemerdekaan di Ukraina atau mengabaikan pelajaran yang telah kita pelajari dari sejarah dan mengizinkan [Presiden Rusia Vladimir] Putin menang," kata Sullivan.
Presiden AS Joe Biden pada tanggal 20 Oktober lalu telah meminta DPR untuk menyetujui bantuan sebesar lebih dari $100 miliar.
Bantuan itu digunakan untuk mengatasi situasi darurat internasional, misalnya membantu Israel dan Ukraina serta menghadapi Tiongkok.
Baca juga: Komunitas Muslim di AS Berjanji Tidak akan Dukung Joe Biden di Pilpres 2024
Sebanyak $60 miliar dari bantuan itu ditujukan untuk membantu Ukraina melawan Ukraina.
Gedung Putih disebut ingin terus mengirimkan dana bantuan kepada Ukraina setidaknya hingga Pilpres 2024 di AS.
"Putin tidak akan berkomitmen terhadap perdamaian sebelum melihat hasil pilpres kita," kata seorang pejabat diplomatik AS kepada AFP.
Selama beberapa bulan ini AS didera ketidakpastian mengenai anggaran karena gejolak politik yang tak berkesudahan.
Parlemen AS belum memutuskan anggaran untuk tahun anggaran yang dimulai pada 1 Oktober 2023.
Putin kunjungi UEA dan Arab Saudi
Dalam perkembangan lain, meski Presiden Rusia, Vladimir Putin dinyatakan sebagai buronan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), ia telah melakukan perjalanan ke luar negeri.
Dikutip The Guardian, Putin dijadwalkan melakukan perjalanan ke Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi pada Rabu (6/12/2023).
Baca juga: Aset Milik Rusia yang Disita Capai 300 Miliar Dolar AS, UE Usulkan Keuntungannya Bangun Ukraina
Memang, Putin belum banyak melakukan perjalanan internasional sejak ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya pada bulan Maret 2023 kemarin.
Baik UEA maupun Arab saudi belum ikut menandatangani perjanjian ICC.
Artinya, UEA dan Arab Saudi tidak wajib menangkap Putin jika pemimpin Rusia itu memasuki wilayah mereka.
Dilansir Times of Israel, Putin menjadi buronan ICC atas kejahatan perang.
ICC menuduh Putin bertanggung jawab secara pribadi atas penculikan anak-anak dari Ukraina.
Sejak surat perintah penangkapan itu dikeluarkan, Putin memilih untuk tidak menghadiri pertemuan puncak BRICS di Afrika Selatan.
Presiden Rusia mengunjungi Tiongkok pada bulan Oktober dan baru-baru ini melakukan beberapa perjalanan ke negara-negara bekas Soviet.
Baca juga: Pemerintah AS Kehabisan Uang untuk Bantu Ukraina?
Penindasan era Soviet
Dalam pernyataan terpisah, Putin menegaskan bahwa Rusia tidak boleh mengulangi penindasan massal di era Soviet.
Ia menekankan kekerasan itu tidak boleh terulang bahkan ketika Rusia berperang dengan Ukraina.
"Penting bagi kami agar hal seperti ini tidak terulang lagi dalam sejarah negara kami," kata Putin kepada dewan hak asasi manusianya, menurut kantor berita Rusia.
Hubungan Rusia dan negara-negara Barat memburuk
Lebih dari dua lusin duta besar Rusia dari berbagai negara Barat mengatakan hubungan Moskow dengan negara-negara tersebut sedang memburuk.
Putin menyesalkan kondisi ini dan berharap akan membaik.
Baca juga: Update Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-650: Bantuan AS ke Ukraina Macet, Putin Berpotensi Menang
"Pada periode pascaperang (perang dunia kedua) dan hingga saat ini, negara-negara kita mampu membangun hubungan," ucap Putin.
"Namun keadaan saat ini, sudah diketahui dengan baik dan kita harus berharap bahwa situasi ini, demi kepentingan negara dan bangsa kita, akan berubah menjadi lebih baik," urai Putin kepada Dubes Rusia di Inggris.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani, Febri)