Selain itu, China dan Rusia juga memiliki tujuan global yang sama, yakni mengurangi kekuatan dan pengaruh AS.
Meskipun China mengatakan pihaknya netral dalam perang di Ukraina, para analis mengatakan China memandang konflik tersebut sebagai cara untuk merusak kekuatan AS.
Baca juga: Momen Sangat Langka, PNS di Belanda Berdemo, Berani Kecam Pemerintahnya soal Perang di Gaza
Untuk mencapai tujuan tersebut, China tidak hanya memberikan Rusia dukungan ekonomi namun juga dukungan diplomatik, dengan menolak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.
Namun hal ini tidak semuanya merupakan kabar baik bagi Rusia secara ekonomi.
Sanksi yang diterapkan Barat menyebabkan melonjaknya inflasi dan kekurangan pekerja yang berujung pada krisis pasar tenaga kerja.
Posisi China dalam Perang Rusia-Ukraina
Sebelumnya, analis mengatakan kepada Business Insider bahwa tampaknya ada keretakan dalam hubungan Putin dan Xi Jinping.
Xi Jinping awalnya mendeklarasikan kemitraan “tanpa batas” dengan Putin pada awal konflik Rusia-Ukraina.
Namun seiring berlarutnya perang, tampaknya kesabaran China terhadap Kremlin mulai menipis, menurut laporan.
Orang dalam Rusia mengatakan kepada The Institute for the Study of War, sebuah wadah pemikir militer, bahwa Moskow menolak 12 poin rencana perdamaian yang digembar-gemborkan oleh China pada bulan Februari lalu.
Mereka menambahkan bahwa anggota elit China semakin frustrasi dengan sikap keras kepala Kremlin.
Financial Times melaporkan bahwa diplomat China yang menghadiri pertemuan awal Agustus lalu di Jeddah, Arab Saudi, ingin menunjukkan bahwa "China bukanlah Rusia.”
Baca juga: Campur Tangan Agen Asing di Balik Serangan dan Pembunuhan Pendukung Rusia, Siapa Saja Korbannya?
Seorang diplomat Eropa yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan kepada FT bahwa kehadiran China di forum itu menunjukkan bahwa Rusia “semakin terisolasi.”
Rusia sendiri mengejek pertemuan tersebut, dengan mengatakan bahwa pertemuan itu “pasti gagal”.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)