TRIBUNNEWS.COM - Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut peningkatan bantuan kemanusiaan untuk Gaza, sangat kurang dari apa yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis tersebut.
Hal ini disampaikan oleh kelompok medis darurat Doctors Without Borders (Medecins Sans Frontieres, atau MSF).
Direktur Eksekutif MSF-USA, Avril Benoit, mengatakan resolusi DK PBB telah diperlunak hingga dampaknya terhadap kehidupan warga sipil di Gaza hampir tidak ada artinya.
“Cara Israel melancarkan perang ini, dengan dukungan AS, menyebabkan kematian dan penderitaan besar di kalangan warga sipil Palestina dan tidak sejalan dengan norma dan hukum internasional,” ujar Benoit, Sabtu (23/12/2023), dikutip dari Al Jazeera.
“Siapa pun yang mempunyai hati nurani setuju bahwa peningkatan besar-besaran respons kemanusiaan di Gaza harus dilakukan tanpa penundaan."
“Semakin banyak negara anggota yang menyadari bahwa gencatan senjata sangat diperlukan untuk mengatasi bencana kemanusiaan di Gaza, namun Dewan kembali gagal untuk menyerukan hal tersebut," terang Avril Benoit.
Baca juga: Takut Serangan 7 Oktober Terulang, Israel akan Bangun Garis Militer di Dekat Gaza
Tanpa Seruan untuk Hentikan Permusuhan
Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang lebih lunak yang menyerukan untuk segera mempercepat pengiriman bantuan kepada warga sipil yang kelaparan dan putus asa di Gaza.
Namun, resolusi itu tanpa permohonan awal untuk penangguhan segera permusuhan antara Israel dan Hamas.
Pemungutan suara yang lama tertunda di dewan beranggotakan 15 orang itu adalah 13-0 dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia abstain.
Abstein AS menghindari veto yang ketiga terhadap resolusi Gaza menyusul serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel.
Duta Besar Uni Emirat Arab, Lana Nusseibeh, menyampaikan resolusi ini akan mengirimkan sinyal kepada masyarakat di Gaza bahwa Dewan Keamanan berupaya meringankan penderitaan mereka.
Baca juga: RSF Ajukan Lagi Gugatan Kejahatan Perang Israel Terhadap Jurnalis di Gaza
Sementara, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengatakan resolusi tersebut pada dasarnya akan memberikan angkatan bersenjata Israel kebebasan bergerak sepenuhnya untuk membersihkan Jalur Gaza.
"Rusia akan memvetonya, jika tidak didukung oleh sejumlah negara Arab," katanya, Sabtu, dilansir AP News.
Di sisi lain, Hamas menyebut resolusi tersebut sebagai langkah yang tidak memadai dan tidak memenuhi persyaratan bencana yang disebabkan oleh mesin militer di Gaza.
Kelompok militan tersebut menuduh Amerika Serikat menentang komunitas internasional dan menghalangi dewan tersebut untuk menuntut penghentian perang.
Sebagai informasi, resolusi tersebut menegaskan kembali komitmen tak tergoyahkan Dewan Keamanan terhadap visi solusi dua negara di mana dua negara demokratis, Israel dan Palestina, hidup berdampingan secara damai dalam batas-batas yang aman dan diakui.
Hal ini menekankan pentingnya menyatukan Jalur Gaza dengan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.
Baca juga: Serangan Israel di Gaza Termasuk Paling Mematikan dalam Sejarah: Setara Pemboman Sekutu ke Jerman
Resolusi Dewan Keamanan penting karena mengikat secara hukum, namun dalam praktiknya banyak pihak memilih untuk mengabaikan permintaan tindakan Dewan Keamanan.
Resolusi-resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum, meskipun resolusi-resolusi tersebut merupakan barometer penting bagi opini dunia.
Dalam aksi terpadu pertamanya setelah serangan Hamas, Dewan Keamanan mengadopsi resolusi pada 15 November di mana AS tidak melakukan apa pun yang menyerukan jeda kemanusiaan yang mendesak dan diperpanjang dalam pertempuran tersebut, pengiriman bantuan tanpa hambatan kepada warga sipil, dan pembebasan semua sandera tanpa syarat.
Sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan pada 18 Oktober 2023 yang mengutuk semua kekerasan terhadap warga sipil dalam perang Israel-Hamas dan mendesak bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina di Gaza.
Baca juga: Pasukan Elite Brigade Golani Israel Balik Kanan dari Gaza, Seperempat Pasukan Rontok Dihajar Hamas
Pada 8 Desember 2023, AS memveto resolusi kedua DK PBB yang didukung oleh hampir seluruh anggota DK PBB dan puluhan negara lainnya, serta menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza.
Majelis Umum yang beranggotakan 193 orang menyetujui resolusi serupa pada 12 Desember dengan suara 153-10, dengan 23 abstain.
Kini, lebih dari 20.000 warga Palestina telah terbunuh sejak perang dimulai, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Hamas menguasai Jalur Gaza, dan Kementerian Kesehatannya tidak membedakan antara kematian warga sipil dan kombatan.
Ribuan warga Palestina lainnya terkubur di bawah reruntuhan Gaza, menurut perkiraan PBB.
(Tribunnews.com/Nuryanti)