TRIBUNNEWS.COM - Robert Inlakesh, seorang pengamat politik di London, Inggris, menyebut Amerika Serikat (AS) dan Israel kini menghadapi lawan kuat di Timur Tengah.
Musuh kuat itu adalah kelompok Houthi di Yaman yang ikut campur dalam perang antara Israel dan Hamas.
Dalam tulisannya di Russian Today, (23/12/2023), Inlakesh mengatakan Houthi telah melancarkan rudal balistik dan rudal penjelajah ke arah Israel.
Kemudian, Houthi mencegah kapal-kapal Israel melewati Laut Merah dan mengumumkan adanya penutupan rute ke Pelabuhan Eilat.
Setelah Houthi menyita beberapa kapal dan menyerang kapal lain dengan pesawat nirawak, aktivitas di Eilat anjlok hingga 85 persen.
Dikutip dari Calcalis Tech, Direktur Jenderal Eilat, Gideon Golber mengatakan pihaknya akan meminta kompensasi dari pemerintah atas hilangnya sejumlah pendapatan.
Perusahaan ekspedisi dari Israel dan negara lainnya kemudian memilih mengambil rute yang lebih panjang dalam perjalanan ke Israel.
Rute panjang itu membuat waktu perjalanan molor hingga 12 hari dan biayanya membengkak.
Di tengah sepak terjang Houthi itu, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin melawat ke Timur Tengah untuk mengumumkan adanya satuan tugas (satgas) angkatan laut yang dikerahkan ke Laut Merah.
Satgas itu beranggotakan beberapa negara. Namun, satu-satunya negara Arab yang ikut serta adalah Bahrain. Inlakesh mengatakan keberadaan satgas itu merupakah bentuk intervensi AS.
Baca juga: Milisi Houthi Beri Hak Istimewa untuk Putin, Kapal Tanker Rusia Bebas Melintas di Laut Merah
Menurut dia, pengaruh AS telah memudar karena gagal gagal meyakinkan negara-negara penting di kawasan itu untuk bergabung.
Inlakesh kemudian menyinggung koalisi Arab Saudi yang ikut campur dalam urusan politik di Yaman tahun 2015. Koalisi itu didukung oleh AS yang kala itu masih dipimpin oleh Presiden Barack Obama.
Tujuan koalisi itu ialah melengserkan Houthi dari kekuasannya di Yaman.
Meski kekuasaan Houthi di Yaman tidak diakui oleh dunia internasional, kelompok itu mengontrol lebih dari 80 persen penduduk di negara itu.