Terpisah, pelapor hak asasi manusia dan lingkungan hidup, David Boyd, menerangkan, kerusakan akuifer yang ditimbulkan oleh rencana Israel itu akan menyebabkan "bencana besar" bagi lingkungan Gaza.
Lantaran, satu-satunya pasokan air di wilayah kantong itu dipastikan bakal terganggu.
Tak hanya pasokan air, peneliti di LSM Belanda Pax for Peace, Wim Zwijnenberg, menyebut membanjiri terowongan Hamas juga memicu risiko runtuhnya bangunan-bangunan di Gaza.
Ia juga memperingatkan adanya bahaya tambahan, merujuk pada laporan yang mengatakan ada puluhan ribu galon bahan bakar disimpan di terowongan Hamas.
Baca juga: Pensiunan Jenderal AS: Banyaknya Tentara Israel yang Tewas di Gaza karena Kurang Pengalaman
"Kami tidak tahu apa yang tersimpan di terowongan Hamas. Ada laporan yang beredar, ada sekitar 20 ribu galon bahan bakar disimpan di terowongan."
"Membanjirinya justru menimbulkan risiko bahan bakar itu juga ikut terserap ke akuifer dan menyatu dengan air tanah," tutur dia.
Padahal, selama ini Jalur Gaza mengalami kesulitan dalam mendapatkan air.
Di Tepi Barat, warga Palestina tidak punya akses terhadap air permukaan dan mereka harus membeli air dari Israel.
IDF diketahui menyerang pasokan air di Tepi Barat sekitar tiga kali dalam sebulan, antara Januari 2022 hingga pertengahan 2023.
Sementara itu di Gaza, akuifer tidak dapat menyerap air secara maksimal karena meningkatnya populasi dan perubahan iklim, termasuk kekeringan dan suhu yang lebih tinggi.
IDF Klaim Berhasil
Sebelumnya, IDF mengklaim rencana mereka membanjiri terowongan Hamas berhasil, menurut laporan Times of Israel pada Kamis (14/12/2023).
Diketahui, IDF telah mulai memompa air laut ke dalam terowongan Hamas pada Selasa (12/12/2023).
Langkah ini diambil untuk menghancurkan jaringan terowongan dan menghancurkan operasi bawah tanah Hamas.
Meski masih dalam tahap uji coba, Israel menganggap rencana mereka sukses.