Pimpinan PLO kemudian menerima prospek solusi dua negara, namun kegagalan proses perdamaian Oslo pada tahun 1993 dan gagalnya upaya Amerika Serikat untuk menengahi kesepakatan akhir di Camp David pada tahun 2000 menyebabkan terjadinya Intifada kedua, pemberontakan massal Palestina.
Sejak itu, kegagalan upaya mengakibatkan pengerasan sikap, Palestina harus menjadi negara merdeka.
Para pengamat pro-Israel berpendapat, slogan tersebut memiliki efek yang mengerikan.
“Bagi warga Yahudi Israel, kalimat ini mengatakan bahwa antara Sungai Yordan dan Mediterania, akan ada satu entitas, yang akan disebut Palestina – tidak akan ada negara Yahudi – dan status Yahudi dalam entitas apa pun yang muncul akan sangat tidak jelas,” kata Yehudah Mirsky, seorang rabbi dan profesor Studi Timur Dekat dan Yudaisme yang berbasis di Yerusalem di Universitas Brandeis. “
"Kedengarannya lebih seperti sebuah ancaman daripada janji pembebasan. Hal ini tidak menandakan masa depan di mana orang-orang Yahudi dapat memiliki kehidupan yang utuh dan menjadi diri mereka sendiri,” katanya.
Picu Efek Gelombang Perlawanan
Pada kenyataannya, serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober memicu solidaritas dari sejumlah milisi di kawasan yang memang punya hubungan buruk dengan Israel dan Amerika Serikat (AS), sekutu abadi Tel Aviv.
Hizbullah di Lebanon, Kataib Hizbullah di Irak, Milisi Perlawanan di Irak, adalah tiga dari banyak contoh dari munculnya gelombang perlawanan terhadap Israel dan AS.
Tujuan serangan milisi perlawanan di kawasan ini jelas, mengganggu Israel dan AS dalam fokusnya membombardir Gaza.
Perlawanan paling mencolok sejauh ini datang dari Yaman yang telah mengguncang jalur perang Israel di Gaza dengan menyerang kapal-kapal yang sedang dalam perjalanan di Laut Merah menuju negara pendudukan.
AS dan sekutu-sekutunya kini mengancam untuk membentuk satuan tugas angkatan laut sebagai tanggapan, sebuah langkah yang kemungkinan besar akan menjadi bumerang dan memicu lebih banyak konflik.
"Alih-alih menekan Israel untuk menghentikan serangan brutalnya di Jalur Gaza, pemerintahan Biden kini memobilisasi armada Arab dan barat – dan mungkin juga armada Israel – untuk melindungi kepentingan ekonomi, politik, dan militer Tel Aviv," tulis Khalil Harb, analis geopolitik dalam sebuah ulasan di TC yang membahas soal logika keputusan Washington.
Di tengah meningkatnya operasi angkatan laut yang dilakukan terhadap kapal-kapal tujuan Israel oleh angkatan bersenjata Yaman yang bersekutu dengan kelompok Ansarallah (Houthi), mobilisasi AS ini dilakukan dengan kedok untuk menegakkan kebebasan dan keamanan navigasi di Laut Merah dan Bab al-Mandab.
Secara resmi dan formil, Washington mengklaim pihaknya melakukan yang terbaik untuk mencegah perang Israel meluas menjadi konfrontasi regional, dan secara terbuka mendesak Tel Aviv untuk mengurangi serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil di wilayah yang terkepung.
"Namun kenyataannya, Gedung Putih menggunakan retorika kosong untuk memberi Israel lebih banyak waktu untuk mencapai kemenangan di Gaza dan menghilangkan perlawanan Palestina," tulis ulasan TC.