TRIBUNNEWS.COM - Dewan Eropa menjatuhkan sanksi kepada enam orang yang diduga mendanai Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Palestina.
Enam orang tersebut, akan dilarang melakukan perjalanan ke negara-negara Uni Eropa.
Uni Eropa juga akan membekukan aset mereka yang berada di Eropa.
“Daftar pertama orang yang dikenakan sanksi termasuk pemodal yang tinggal di Sudan, Abdel Basset Hamza al-Hassan Muhammad Khair; Nabil Shoman dan putranya Khaled Shoman; Reda al-Khamis, pemodal utama Hamas; Musa Dudin, pemimpin senior Hamas; dan pemodal yang tinggal di Aljazair, Ayman Ahmed al-Dweik," bunyi pernyataan Dewan Eropa, Jumat (19/1/2024).
Dewan Eropa mengatakan, sanksi itu akan berlaku selama satu tahun dan akan terus ditinjau setelahnya.
"Sistem sanksi baru ini akan terus diterapkan hingga 19 Januari 2025. Sanksi tersebut akan terus ditinjau dan diperbarui atau diubah bila diperlukan," lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera.
Sebelumnya, pada Selasa (16/1/2024), Uni Eropa memasukkan pemimpin politik Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, ke dalam daftar hitamnya.
Uni Eropa, yang merupakan pendukung vokal Israel, sebelumnya telah memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi “teroris”.
Sanksi yang dijatuhkan pada Jumat (19/1/2024) terjadi sebelum para menteri luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengadakan pembicaraan terpisah di Brussels pada Senin (22/1/2024) dengan para menteri luar negeri Israel dan Otoritas Palestina.
Para diplomat mengatakan, negara-negara Uni Eropa juga berupaya untuk menjatuhkan sanksi terhadap pemukim “ekstremis” Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Hamas: Standar Uni Eropa Sangat Bias
Baca juga: Blak-blakan, Pejabat Uni Eropa Tuding Israel Biayai Hamas untuk Lemahkan Otoritas Palestina
Taher Al-Nono, penasihat media Ismail Haniyeh, kepala biro politik Hamas, menuduh Uni Eropa bias.
Ia menyerukan diakhirinya apa yang disebutnya sebagai “kebijakan standar ganda.”
“Sanksi ini konyol dan menggelikan, dan semua orang tahu bahwa saudara Yahya Al-Sinwar tidak memiliki rekening keuangan, baik di Palestina maupun di luarnya,” kata Taher Al-Nono kepada Reuters, Rabu (17/1/2024).
"Keputusan seperti itu tidak akan berdampak apa-apa terhadap Hamas. Gagasan menjatuhkan sanksi terhadap para pemimpin perlawanan dan Hamas yang menentang pendudukan sebagai hak yang dijamin oleh hukum internasional adalah bias terhadap pendudukan," lanjutnya.
Hamas Palestina vs Israel
Israel memperkirakan, masih ada kurang lebih 137 sandera yang ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
Dengan terbunuhnya sejumlah sandera akibat serangan Israel, tidak diketahui jumlah sandera yang masih hidup di Jalur Gaza.
Segera setelah Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), Israel meluncurkan serangan besar-besaran di Jalur Gaza.
Kematian warga Palestina di Jalur Gaza mencapai 24.927 jiwa sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Sabtu (20/1/2024).
Tercatat 1.147 kematian di wilayah Israel selama konflik terbaru dengan Hamas.
Selain itu, dilaporkan ada 360 kematian warga Palestina di Tepi Barat hingga Kamis (18/1/2023).
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel