Pemboman Israel yang mengerikan terhadap Gaza sejak 7 Oktober telah menciptakan kondisi seperti itu, menewaskan sedikitnya 30.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Risiko kelaparan akibat blokade Israel juga menciptakan kondisi yang membuat deportasi 2,3 juta warga Gaza tampak sebagai tindakan kemanusiaan.
Kondisi ini dapat terjadi jika Israel melakukan operasi darat di Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Gaza yang mengungsi dari wilayah lain di Jalur Gaza berlindung.
Mesir sejauh ini menolak mengizinkan warga Gaza masuk ke Sinai, sehingga deportasi melalui laut ke Eropa lebih menarik bagi para perencana Israel.
Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) juga mengeluarkan peringatan tentang rencana AS membangun pelabuhan sementara di lepas pantai Gaza.
Gerakan perlawanan menekankan bahwa rencana AS mencurigakan dan meragukan, karena akan membuka pintu bagi pengungsian paksa penduduk Gaza dengan alasan kemanusiaan dan alasan lainnya.
Gerakan ini juga menuduh Presiden Joe Biden mendirikan pelabuhan tersebut untuk menenangkan opini publik di AS.
Menjelang pemilihan presiden, sebagian besar pemilih Partai Demokrat mengkritik Biden atas dukungannya terhadap Genosida Israel yang sedang berlangsung di Gaza, termasuk kurangnya bantuan yang menjangkau warga Palestina yang kelaparan.
Pernyataan PFLP menambahkan bahwa Perlawanan Palestina akan tetap waspada dan akan menghadapi rencana mencurigakan AS atau tindakan lain apa pun yang mungkin memaksa warga Palestina diusir untuk melikuidasi perjuangan Palestina.
Pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa kehadiran AS akan menjadi target yang sah bagi Perlawanan Palestina.
(Sumber: The Cradle)