TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pada hari Kamis (28/9/2024) mengubah aturan wajib militer untuk membela Yahudi Ultra-Ortodoks.
Netanyahu meminta pengadilan tinggi Israel untuk menunda tugas wajib militer bagi orang-orang Yahudi Ultra-Ortodoks.
Mengutip dari Al Mayadeen, aturan wamil bagi para pria Yahudi ultra-Ortodok telah lama menjadi pemicu perselisihan dalam internal politik Israel.
Ini mengakibatkan krisis panjang yang mencakup lima pemilihan legislatif dalam waktu kurang dari empat tahun.
Awalnya, pria-pria Yahudi ultra-Ortodoks dijadwalkan untuk terjun berperang di Gaza mulai 1 April 2024.
Namun dengan mendapat dukungan dari partai-partai ultra-Ortodoks, Netanyahu mendesak Mahkamah Agung untuk menunda batas waktu pengajuan rencana wajib militer.
Keputusan wamil bagi para pria Yahudi ulta-Ortodoks juga ditolak oleh kamu Yahudi Haredi.
Mereka menegaskan tidak akan bergabung dengan IDF.
Kaum Yahudi Haredi mengklaim penolakan ini atas dasar 'doktrinal alkitabiah'.
Dengan membawa slogan "Kami lebih baik mati daripada mengabdi", mereka melakukan demo di wilayah pendudukan al-Quds untuk menolak bergabung dengan IDF.
Dalam tuntutannya kepada MA, Netanyahu meminta wamil bagi pria Yahudi Ultra-Ortodoks ditunda selama 30 hari.
Tujuannya agar memberikan lebih banyak waktu untuk mencapai kesepakatan dengan mitra koalisi ultra-Ortodoksnya.
Baca juga: Mati-matian Bela Yahudi Ultra-ortodoks, Netanyahu Ancam Para Menteri Israel Soal RUU Haredi
Namun pada hari yang sama, MA mengeluarkan keputusan sementara terkait wajib militer.
Dalam keputusan tersebut, seminari-seminari Yahudi akan kehilangan pendanaan jika siswa tanpa penundaan atau pengecualian gagal melapor untuk tugas militer.