TRIBUNNEWS.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Israel, Bezalel Smotrich mengatakan bahwa Otoritas Palestina (PA) harus ditumbangkan.
Smotrich juga mengancam akan menahan pendanaannya jika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengakui negara Palestina atau Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat senior Israel.
Dalam suratnya kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Smotrich mengatakan cara terbaik untuk menghadapi tindakan internasional tersebut (surat perintah penangkapan ICC) adalah dengan memutuskan hubungan dengan Otoritas Palestina untuk “segera menjatuhkannya”.
Dia juga mengatakan kementeriannya akan menahan dana untuk Otoritas Palestina, yang sebagian besar dana pajaknya dikendalikan oleh Israel.
“Tindakan sepihak akan ditanggapi dengan tindakan sepihak,” kata Smotrich dalam suratnya, dikutip dari Al Jazeera.
Pemerintah Israel tetap mempertahankan posisinya bahwa tekanan militer dan politik adalah satu-satunya cara untuk menjamin pembebasan sisa tawanan yang ditahan di Gaza.
Namun keluarga para tawanan dan gerakan "Bawa Mereka Kembali Sekarang" mengatakan pemerintah harus membuat kesepakatan baru.
Perdana Menteri Israel selama beberapa waktu menyatakan bahwa Hamas adalah alasan mengapa tidak ada kesepakatan (gencatan senjata).
Kedua belah pihak saling tuding.
Tak lama Hamas menyebut bahwa Israel adalah alasan mengapa tidak ada kesepakatan.
Baca juga: 13 Peristiwa yang Mewarnai 200 Hari Perang Israel-Hamas
Meskipun demikian, keluarga para tawanan sangat muak dengan ketidakmampuan pemerintah mencapai tujuan perang, salah satunya adalah memulangkan para tawanan yang tersisa.
Pada saat ini, kabinet perang Israel sedang mengadakan pertemuan di Kirya – yang merupakan Pentagon versi Israel – Kementerian Pertahanan di Tel Aviv.
Empat warga Palestina yang berusaha pulang ke rumah tewas akibat tembakan tank Israel
Nahas, di Gaza tengah, empat orang tewas dalam penembakan tank Israel dan jenazah mereka dibawa ke rumah sakit setempat.
Anggota keluarga mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa mereka dibunuh ketika mencoba pindah ke Gaza utara, tempat militer Israel mencegah orang untuk kembali ke rumah mereka.
Sebelumnya, pejabat rumah sakit Palestina mengatakan serangan udara Israel di kota Rafah di selatan menewaskan sedikitnya lima orang.
Jenazah 43 orang yang tewas dalam serangan Israel telah dibawa ke rumah sakit setempat selama 24 jam terakhir.
"Rumah sakit juga menerima 64 orang yang terluka," kata Kementerian Kesehatan Gaza.
Karyawan Google dipecat
Karyawan Google di Amerika Serikat (AS) belum lama ini menggelar aksi duduk di kantor raksasa teknologi tersebut di New York City (NYC), California, dan Seattle.
Aksi duduk di New York dan Sunnyvale California dipimpin oleh No Tech For Apartheid.
Baca juga: 11 Fakta Serangan Israel ke Iran, Teheran Malas Membalas, Dampak hingga Reaksi Internasional
Dalam protes tersebut, mereka menentang kontrak kerja sama dengan pemerintah Israel, yang dikenal sebagai Proyek Nimbus.
Proyek Nimbus merupakan kontrak bersama antara Google dan Amazon yang ditandatangani pada tahun 2021.
Sejak tahun itu pula, No Tech For Apartheid telah mengorganisir karyawan Google melawan Proyek Nimbus.
Kontrak kerja tersebut bertujuan untuk menyediakan infrastruktur komputasi awan, kecerdasan buatan (AI), dan layanan teknologi lainnya kepada pemerintah Israel dan militernya, yang menghadapi kecaman atas perangnya di Gaza.
Menurut laporan tahun 2021 oleh media The Intercept yang berbasis di AS, Google menawarkan kemampuan AI tingkat lanjut ke Israel, yang dapat mengumpulkan data untuk pengenalan wajah dan pelacakan objek sebagai bagian dari Proyek Nimbus.
Buntut protes itu, perusahaan memecat setidaknya 28 karyawan karena “melanggar kode etik Google” dan “kebijakan pelecehan, diskriminasi, dan pembalasan”.
Selain itu, setidaknya sembilan karyawan Google ditangkap karena aksi duduk di kantor Google di New York dan Sunnyvale.
Pekerja teknologi menuntut agar mereka mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana tenaga kerja mereka akan digunakan (dalam Proyek Nimbus).
Karena penjelasan yang dituntut dirasa tak memenuhi ekspektasi, mereka tambah khawatir jika teknologi tersebut malah digunakan untuk hal-hal yang merugikan.
Pekerja di Amazon dan perusahaan induk Facebook, Meta, juga bentrok dengan bos mereka karena perang Israel-Hamas di Gaza.
“Mustahil untuk merasa bersemangat untuk bekerja ketika Anda tahu perusahaan Anda menyediakan produk-produk pemerintah Israel yang membantunya melakukan kekejaman di Palestina,” kata Tina Vachovsky, staf insinyur perangkat lunak di Google, dalam sebuah testimoni yang dipublikasikan di No Tech For Apartheid, dikutip dari Al Jazeera.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)