Namun Netanyahu tampaknya lebih memprioritaskan tuntutan politik kabinetnya dibandingkan saran yang ia dapatkan dari Biden, menurut analis.
Koalisinya rapuh dan ia bergantung pada dukungan anggota parlemen sayap kanan yang menuntut serangan terhadap Rafah.
“Perhitungan Netanyahu jauh lebih terfokus pada mempertahankan koalisinya dibandingkan membuat Joe Biden senang,” kata Aaron David Miller, mantan negosiator perdamaian AS yang kini bekerja di Carnegie Endowment for International Peace, kepada The Wall Street Journal.
Pada saat yang sama, Netanyahu berada di bawah tekanan untuk mengamankan nyawa sandera.
Masih ada kemungkinan bahwa Israel berupaya mencapai kesepakatan gencatan senjata, dan tidak melakukan invasi yang lebih luas.
The New York Times, mengutip pejabat pemerintahan Biden, melaporkan bahwa prospek gencatan senjata yang berubah dengan cepat selama akhir pekan kemungkinan merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan pengaruh di meja perundingan.
Namun jika Netanyahu terus melanjutkan ancamannya untuk menyerang Rafah, konsekuensinya bagi AS bisa sangat buruk, menurut pakar.
Perang Gaza telah berulang kali mengancam akan meluas ke konflik regional yang lebih luas.
Penderitaan warga sipil baru di Rafah dapat meningkatkan ancaman tersebut.
Sementara itu, pengaruh global Biden bisa terkikis jika Netanyahu terus mengabaikan peringatannya.
Dave Harden, mantan direktur misi di Badan Pembangunan Internasional AS di Tepi Barat dan Gaza, baru-baru ini mengatakan kepada BBC bahwa Netanyahu hampir memperlakukan Biden sebagai sekretaris kedua yang tidak penting di negara-negara berperingkat rendah di Eropa.
Batasan pengaruh Biden terhadap tindakan Netanyahu akan menjadi semakin jelas, ujarnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)