TRIBUNNEWS.COM - Setelah lebih dari 300 rudal dan serangan drone diluncurkan oleh Iran kepada Israel pada pertengahan bulan April yang lalu, banyak pihak yang mengadvokasi penerapan sanksi yang lebih keras terhadap ekspor minyak dari Iran.
Satu pihak yang paling getol menggalakkan sanksi tersebut adalah Amerika Serikat.
Bahkan, sejumlah pejabat AS mengaku blak-blakan berupaya untuk menghentikan transfer minyak Iran ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Pejabat Departemen Keuangan AS menyatakan bahwa Iran tidak akan dapat memindahkan minyaknya kecuali melalui Singapura dan Malaysia.
Karena hal itulah,Brian Nelson, wakil menteri keuangan AS untuk terorisme dan intelijen keuangan, sedang berupaya untuk memperketat pembatasan ekspor minyak mentah Iran selama kunjungan empat hari di Singapura dan Malaysia yang dimulai pada Selasa (7/5/2024) lalu.
Dalam kunjungannya ke Malaysia dan Singapura, ia bertemu dengan para eksekutif minyak, regulator, dan lembaga keuangan.
Kunjungan Nelson ini dilakukan seiring dengan upaya Departemen Keuangan untuk menindak pendanaan kelompok perlawanan seperti Hamas, yang diduga mengalir melalui Asia Tenggara, termasuk usaha penggalangan dana dan penjualan minyak Iran.
Nelson menyampaikan kepada wartawan bahwa AS berupaya mencegah Malaysia menjadi kekuatan regional di mana kelompok perlawanan Palestina dapat mengumpulkan dana.
Bahkan Nelson mengklaim AS siap menerapkan sanksi kepada siapa pun pihak yang terlibat dalam perdagangan minyak antara Iran dan negara-negara di Asia Tenggara.
Namun, bak anjing menggonggong khafilah berlalu, peringatan sanksi dari AS ini justru dikecam keras oleh Malaysia.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Malaysia, Saifuddin Nasution bin Ismail pada Kamis (9/5/2024)
Baca juga: Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran: Teheran Bakal Ubah Doktrin Nuklir Jika Terancam oleh Israel
Dikutip Tribunnews dari kantor berita pusat Iran (IRNA), Saifuddin mengatakan bahwa Kuala Lumpur hanya mengakui sanksi yang diberlakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja dan bukan oleh negara-negara individu seperti Amerika Serikat.
"Saya menekankan bahwa kami hanya akan mengakui sanksi jika diberlakukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa."' tegasnya kepada wartawan.
Saifuddin juga mengaku sudah menyatakan penolakan tersebut langsung ke hadapan Nelson.
"Delegasi dari AS juga menghormati sikap kami," kata Datuk Seri Saifuddin kepada wartawan setelah pertemuan dengan pejabat sanksi teratas Departemen Keuangan AS, Brian Nelson, yang sedang mengunjungi Kuala Lumpur.
Sanksi AS terhadap Iran
Sebelumnya pada Kamis (18/4/2024), Amerika mengumumkan sanksi baru terhadap Iran buntut eskalasi terhadap Israel pada Sabtu (13/4/2024) kemarin.
Sanksi dari AS menargetkan produksi kendaraan udara tak berawak (UAV) atau drone.
Departemen Keuangan AS mengatakan, tindakan tersebut menargetkan 16 individu dan dua entitas yang memungkinkan produksi UAV Iran, termasuk jenis mesin yang menggerakkan UAV varian Shahed Iran.
Senjata-senjata ini diklaim digunakan dalam serangan 13 April.
Dikutip dari Reuters, lima perusahaan di berbagai yurisdiksi yang menyediakan bahan komponen untuk produksi baja kepada Perusahaan Baja Khuzestan (KSC) Iran, salah satu produsen baja terbesar di Iran, atau membeli produk baja jadi KSC juga dijatuhi sanksi.
Tiga anak perusahaan produsen mobil Iran, Bahman Group, yang dikatakan mendukung Korps Garda Revolusi Islam Iran, juga menjadi sasaran, dilansir The Guardian.
Gedung Putih juga sedang mengupayakan sanksi atau hukuman untuk memukul ekonomi Iran.
Meski pembatasan ekspor minyak dapat memukul perekonomian Iran, akan tetapi apabila sanksi ini diberlakukan dalam jangka waktu yang lama maka pasar global akan mengalami lonjakan harga minyak mentah.
Sanksi Uni Eropa terhadap Iran
Sementara itu, para pemimpin Uni Eropa (UE) juga sepakat untuk meningkatkan sanksi terhadap Iran.
Hampir sama seperti AS, sanksi Uni Eropa juga menargetkan drone dan rudal Iran.
“(UE) akan mengambil tindakan pembatasan lebih lanjut terhadap Iran, terutama terkait kendaraan udara tak berawak dan rudal," demikian pengumuman Uni Eropa, Kamis (18/4/2024), dikutip dari The Guardian.
Sebenarnya, sejauh ini Uni Eropa sudah menerapkan serangkaian sanksi terhadap Iran, termasuk pembatasan perdagangan, larangan perjalanan, dan pembekuan aset.
Beberapa dari sanksi ini dijatuhkan sebagai respons terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Teheran – termasuk setelah kematian Mahsa Amini pada tahun 2022 di tangan polisi moral Iran – dan tindakan keras yang kejam terhadap pengunjuk rasa.
Baru-baru ini, blok tersebut membentuk rezim baru yang melarang ekspor komponen penting yang digunakan untuk memproduksi drone mematikan, yang juga dikenal sebagai kendaraan udara tak berawak (UAV), ke Uni Eropa, yang kemudian dijual ke Moskow untuk mendukung upaya perangnya di Ukraina, dikutip dari Euronews.
Inggris juga menjatuhkan sanksi yang menargetkan beberapa organisasi militer Iran, individu, dan entitas yang terlibat dalam industri UAV dan rudal balistik Iran.
(Tribunnews.com/Bobby/Andari)