News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Iran Vs Israel

AS Ngamuk Lihat India Jalin Kerja Sama dengan Iran, Pemerintahan Biden Siapkan Sanksi Keras

Penulis: Bobby W
Editor: Febri Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Iran periode 2013-2021 Hassan Rouhani (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri India Narendra Modi sebelum pertemuan di rumah Hyderabad di New Delhi pada 17 Februari 2018.Kedekatan terbaru antara kedua negara ini ditunjukkan dengan penandatanganan sebuah kontrak kerjasama berdurasi 10 tahun untuk mengembangkan pelabuhan strategis di Chabahar di provinsi Baluchestan, Iran yang membuat AS marah

TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) kembali dibuat kebakaran jenggot dengan langkah Iran yang terus menjalin kerja sama dengan negara-negara di Asia.

Setelah sebelumnya menjalin kerjasama perdagangan minyak dengan negara-negara di Asia Tenggara, kini AS dibikin geram dengan langkah Iran mempererat hubungannya dengan India.

Kedekatan terbaru antara kedua negara ini ditunjukkan dengan penandatanganan sebuah kontrak kerja sama berdurasi 10 tahun untuk mengembangkan pelabuhan strategis di Chabahar di Provinsi Baluchestan, Iran.

Melalui kerja sama tersebut, India bakal turut membantu pembangunan infrastruktur pelabuhan di Iran tersebut untuk memerat dan memermudah transportasi perdagangan antara kedua negara.

Langkah kerja sama ini pun membuat marah AS yang kemudian memberi peringatan keras kepada India.

Pemerintahan Biden mengancam India bahwa kerja sama tersebut bisa berujung sanksi berat terhadap pemerintahan Narendra Modi.

"Mereka yang mencari bisnis dengan Iran harus tahu bahwa mereka membuka diri terhadap sanksi," ancam Vedant Patel, Wakil Jubir Departemen Luar Negeri AS di Washington pada hari Senin (13/5/2024) waktu setempat. 

Dikutip Tribunnews dari kantor berita pusat Iran (IRNA), Patel secara tegas menyatakan Washington menentang perjanjian yang baru-baru ini ditandatangani oleh India dan Iran tersebut.

"Kami menyadari laporan-laporan ini. Pemerintah India seharusnya berbicara sendiri tentang kebijakan luar negerinya," kata Patel.

"Sanksi kami terhadap Iran tetap berlaku dan masih diterapkan," lanjutnya

Menanggapi ancaman yang disampaikan AS untuk India, Iran mengaku santai saja tanpa tekanan.

Baca juga: Iran Akan Buat Bom Nuklir jika Terancam oleh Israel: Tak Ada Pilihan selain Ubah Doktrin Militer

Bahkan pemerintahan Iran mengaku telah mengabaikan peringatan dan tekanan serupa yang dilayangkan AS di masa lalu kepada negaranya.

Hal ini disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Iran untuk Diplomasi Ekonomi Mehdi Safari  pada Selasa (14/5/2024)

Iran meyakini bahwa India tak akan menarik diri dari kerjasama tersebut meskipun diancam AS karena keuntungan dalam kerjasama tersebut bisa mendorong tambahan energi dan keamanan regional bagi kedua negara.

Mehdi menyatakan bahwa Perjanjian Chabahar bertujuan untuk memperluas pertukaran perdagangan bilateral dan itu merupakan kabar baik bagi eksportir, importir, dan pengusaha yang melakukan perjalanan transit melalui Iran atau India serta negara-negara Asia Tengah lainnya seperti Uzbekistan, Rusia, dan Kaukasus.

Delapan tahun setelah menyelesaikan kerangka kerja kerja sama umum terkait pelabuhan Chabahar, India dan Iran pada hari Senin menandatangani kontrak 10 tahun untuk operasinya.

Perjanjian tersebut ditandatangani di hadapan Menteri Pelabuhan, Pengiriman, dan Jalur Air India Sarbananda Sonowal dan Menteri Jalan dan Pembangunan Perkotaan Iran Mehrdad Bazrpash.

Ancaman AS Juga Disepelekan Malaysia

Tak hanya Iran dan India, ancaman sanksi Amerika ini juga disepelekan oleh Malaysia

Seperti yang diketahui sebelumnya, AS getol untuk mengadvokasi penerapan sanksi yang lebih keras terhadap ekspor minyak dari Iran setelah mereka melakukan serangan balik ke Israel.

Bahkan, sejumlah pejabat AS mengaku blak-blakan berupaya untuk menghentikan transfer minyak Iran ke sejumlah negara di Asia Tenggara.

Pejabat Departemen Keuangan AS menyatakan bahwa Iran tidak akan dapat memindahkan minyaknya kecuali melalui Singapura dan Malaysia.

Karena hal itulah,Brian Nelson, wakil menteri keuangan AS untuk terorisme dan intelijen keuangan, sedang berupaya untuk memperketat pembatasan ekspor minyak mentah Iran selama kunjungan empat hari di Singapura dan Malaysia yang dimulai pada Selasa (7/5/2024) lalu.

Dalam kunjungannya ke Malaysia dan Singapura, ia bertemu dengan para eksekutif minyak, regulator, dan lembaga keuangan.

Kunjungan Nelson ini dilakukan seiring dengan upaya Departemen Keuangan untuk menindak pendanaan kelompok perlawanan seperti Hamas, yang diduga mengalir melalui Asia Tenggara, termasuk usaha penggalangan dana dan penjualan minyak Iran.

Nelson menyampaikan kepada wartawan bahwa AS berupaya mencegah Malaysia menjadi kekuatan regional di mana kelompok perlawanan Palestina dapat mengumpulkan dana.

Bahkan Nelson mengklaim AS siap menerapkan sanksi kepada siapa pun pihak yang terlibat dalam perdagangan minyak antara Iran dan negara-negara di Asia Tenggara.

Namun, bak anjing menggonggong khafilah berlalu, peringatan sanksi dari AS ini justru dikecam keras oleh Malaysia.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Malaysia, Saifuddin Nasution bin Ismail pada Kamis (9/5/2024)

Baca juga: Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran: Teheran Bakal Ubah Doktrin Nuklir Jika Terancam oleh Israel

Dikutip Tribunnews dari kantor berita pusat Iran (IRNA), Saifuddin mengatakan bahwa Kuala Lumpur hanya mengakui sanksi yang diberlakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja dan bukan oleh negara-negara individu seperti Amerika Serikat.

"Saya menekankan bahwa kami hanya akan mengakui sanksi jika diberlakukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,"' tegasnya kepada wartawan.

Saifuddin juga mengaku sudah menyatakan penolakan tersebut langsung ke hadapan Nelson.

"Delegasi dari AS juga menghormati sikap kami," kata Datuk Seri Saifuddin kepada wartawan setelah pertemuan dengan pejabat sanksi teratas Departemen Keuangan AS, Brian Nelson, yang sedang mengunjungi Kuala Lumpur.

Sanksi AS terhadap Iran

Sebelumnya pada Kamis (18/4/2024), Amerika mengumumkan sanksi baru terhadap Iran buntut eskalasi terhadap Israel pada Sabtu (13/4/2024) kemarin.

Sanksi dari AS menargetkan produksi kendaraan udara tak berawak (UAV) atau drone.

Departemen Keuangan AS mengatakan, tindakan tersebut menargetkan 16 individu dan dua entitas yang memungkinkan produksi UAV Iran, termasuk jenis mesin yang menggerakkan UAV varian Shahed Iran.

Senjata-senjata ini diklaim digunakan dalam serangan 13 April.

Dikutip dari Reuters, lima perusahaan di berbagai yurisdiksi yang menyediakan bahan komponen untuk produksi baja kepada Perusahaan Baja Khuzestan (KSC) Iran, salah satu produsen baja terbesar di Iran, atau membeli produk baja jadi KSC juga dijatuhi sanksi.

Tiga anak perusahaan produsen mobil Iran, Bahman Group, yang dikatakan mendukung Korps Garda Revolusi Islam Iran, juga menjadi sasaran, dilansir The Guardian.

Gedung Putih juga sedang mengupayakan sanksi atau hukuman untuk memukul ekonomi Iran.

Meski pembatasan ekspor minyak dapat memukul perekonomian Iran, akan tetapi apabila sanksi ini diberlakukan dalam jangka waktu yang lama maka pasar global akan mengalami lonjakan harga minyak mentah.

(Tribunnews.com/Bobby Wiratama)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini