TRIBUNNEWS.COM - Pertemuan antara Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dan pemimpin utama Hamas yakni Ismail Haniyeh, di Doha pada selasa (14/5/2024) pekan lalu menuai kecaman oleh beberapa negara.
Kubu Israel dan Amerika Serikat kompak mengkritik pertemuan tersebut yang dinilai memerkeruh suasana di Gaza hingga mengancam perdamaian global.
Dikutip Tribunnews dari Astro Awani, Anwar Ibrahim pun kembali mengklarifikasi isi pertemuannya dengan Ismail Haniyeh pada pekan lalu.
Anwar mengatakan bahwa agenda utama pertemuannya kala itu adalah meyakinkan Hamas untuk menemukan solusi damai yang dapat diterima oleh semua pihak.
Hal ini perlu dilakukan karena menurut Anwar krisis kemanusiaan di Gaza sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Anwar juga mengatakan bahwa dia sudah lama mengenal pemimpin Hamas tersebut selama beberapa dekade, dan tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bertemu.
"Saya meminta mereka untuk menghormati keputusan negara-negara tetangga selain mencoba menjamin perdamaian, melaksanakan pertukaran pembebasan tahanan, dan menerima 'solusi dua negara'." buka Anwar.
"Apakah itu sebuah kejahatan? Apakah saya mempromosikan kekerasan? Tentu saja tidak." terang Anwar menyindir negara-negara yang mengkritiknya.
"Saya menemui langsung Pemimpin Hamas karena saya memiliki kelebihan (dibandingkan Israel atau AS), apa kelebihan yang saya miliki? saya mengenal mereka, dan mereka menganggap saya sebagai teman." Lanjut Anwar.
Anwar Ibrahim juga meminta semua pihak jangan hanya melihat serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2023 lalu yang memicu gerakan agresi militer.
Ia meminta semua pihak melihat lebih jauh dalam skala historik yang lebih besar bahwa Israel sudah lama menindas warga Palestina.
Baca juga: Aksi Sniper Gaza di Beit Hanoun, Satu Tembakan Dua IDF Roboh Bersamaan, Israel Umumkan 3 IDF Tewas
"Dapatkah kita di zaman ini mengalihkan pandangan dari kekejaman besar ini? Kita tentu bisa terus mendiskusikan apa yang terjadi pada tanggal 7 Oktober (Serangan Hamas ke Israel), tetapi jangan sampai kita lupa cerita tujuh dekade Nakba pada tahun 1948." ungkapnya.
Karena hal itulah, Anwar meminta kedua belah pihak yang bertikai yakni Palestina dan Israel memiliki kepala dingin dan menahan egonya masing-masing guna mewujudkan gencatan senjata sebagai langkah terdekat yang bisa diambil.
"Hal yang paling penting sekarang adalah menghentikan pembunuhan. Berhenti menembaki perempuan dan anak-anak. Berhenti menghancurkan rumah sakit, sekolah, masjid, gereja," Anwar menekankan.
Mantan Kepala Staf Umum Tentara Israel Akui Negaranya Mustahil Menang
Sementara itu, mantan Kepala Staf Umum tentara Zionis Israel, Dan Halutz baru-baru ini mengeluarkan sebuah pernyataan blak-blakan terkait agresi negaranya di Palestina.
Pada Minggu (12/5/2024), Dan mengakui bahwa rezimnya tak akan bisa menyatakan kemenangan sekalipun mereka bisa menghancurkan semua yang ada di Jalur Gaza.
"Sudah banyak prajurit Israel yang tewas di Gaza dan di wilayah utara dengan sia-sia, karena perang ini tidak memiliki tujuan yang jelas," ungkap Halutz.
"Bahkan jika kita bisa benar-benar buat Gaza hancur, maka kami juga tidak akan bisa menunjukkan gambaran kemenangan," lanjut Halutz seperti yang dikutip Tribunnnews dari agensi berita Palestina, Sama.
"Satu-satunya gambaran yang akan dicatat dalam sejarah adalah kekalahan kita (Israel) setelah tanggal 7 Oktober (serangan Hamas), oleh karena itu kita harus berusaha dengan cara apa pun untuk membebaskan 132 sandera yang tersisa di Gaza," lanjutnya.
Ungkapan Halutz ini juga diamini Aviv Kohavi, mantan kepala staf umum rezim Zionis
Aviv mengakui bahwa tidak ada cara lain untuk menghentikan perang selain membebaskan semua tawanan yang disandera Hamas.
"Pengembalian 'sandera' dari Gaza sama dengan menghentikan perang," katanya.
Mantan Perdana Menteri, Ehud Olmert juga mengatakan kepada saluran berbahasa Arab sebelumnya bahwa operasi militer yang selama ini dilakukan tidak akan menghasilkan pembebasan para sandera.
Selain itu pihaknya juga terus mengkawal pemerintahan Benjamin Netanyahu yang dinilainya terlalu ngotot untuk terus melakukan serangan ke Palestina.
"Kami juga akan terus berusaha mencegah kabinet Benjamin Netanyahu mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan Israel yang sesungguhnya" kata Olmert.
(Tribunnews.com/Bobby)