Penulis menyatakan, tentara Israel meratakan sekitar 28 hektar tanah, dan melibas daerah pemukiman yang terkena dampak untuk memungkinkan pekerjaan dan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun kompleks dermaga apung tersebut.
Namun, menurut Lima, warga Palestina mengindikasikan ada kemungkinan sisa-sisa manusia tercampur dengan jembatan yang akan dilewati rute bantuan kemanusiaan.
Hal itu karena Kementerian Kesehatan Palestina memperkirakan sekitar 10.000 jenazah masih terkubur di bawah reruntuhan rumah yang hancur di berbagai wilayah Gaza.
Baca juga: Media Inggris: Negara-Negara Arab Dukung Kehadiran Pasukan Asing di Gaza dan Tepi Barat
Dicurigai Bakal Jadi Pangkalan Militer
Pejabat militer Amerika menegaskan, pihaknya tidak akan mengirimkan pasukan ke lapangan selama atau setelah pekerjaan tersebut, dan oleh karena itu tentara Israel harus menjamin keamanan fasilitas tersebut, meskipun ada “jaringan terintegrasi” antara Pasukan Israel dan tentara Amerika untuk mengoordinasikan operasi.
Sementara itu, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menolak kerja sama ini – menurut surat kabar tersebut – dan seorang anggota terkemuka menegaskan penolakannya terhadap kehadiran non-Palestina di Gaza, “baik di laut atau di darat,” dan menganggapnya sebagai pemaksaan dan pentasbihan “pendudukan”.
Meski begitu, pasukan Amerika akhirnya menuntaskan perakit platform terapung besar sekitar 10 kilometer dari pantai.
Prosedur setelah itu adalah pihak Israel akan memeriksa semua barang yang tiba sebelum mengirimkannya ke warga Gaza.
Setelah tiba, armada kapal kecil akan mengangkut bantuan ke pelabuhan baru, dan dari sana diangkut dengan truk.
Namun, melaksanakan pekerjaan tersebut – menurut surat kabar tersebut – menimbulkan keraguan besar di pihak organisasi kemanusiaan, terutama karena jumlah bantuan yang dapat masuk ke Gaza telah meningkat selama beberapa minggu melalui penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom di selatan, selain penyeberangan Erez-Beit Hanoun, yang digunakan oleh konvoi.
Belakangan, Israel menutup akses-akses ini yang menuai kecaman dari para organisasi dan pekerja kemanusiaan.
Kepala urusan kemanusiaan di PBB, Martin Griffiths, mengungkapkan kemungkinan adanya hubungan antara pembukaan koridor laut ini dan serangan militer Israel yang diumumkan Israel terhadap Rafah di Jalur Gaza selatan, tempat tinggal satu setengah juta warga Palestina.
Kecurigaan ini terbukti saat Israel kemudian membombardir Rafah tak lama setelah AS menyatakan kalau dermaga apung siap beroprasi.
Baca juga: Kirim Pasukan Tambahan, Brigade ke-89 Israel Memasuki Rafah Saat AS Umumkan Dermaga Apung Selesai
Sebagai informasi, menurut surat kabar tersebut, dermaga apung yang dibangun AS itu terletak di ujung apa yang disebut tentara Israel sebagai “Koridor Netzarim”.
Koridor ini membagi Jalur Gaza menjadi dua bagian, dan daerah sekitarnya telah “ dibersihkan” untuk memberikan jalan bebas hambatan bagi kendaraan lapis baja dan memungkinkan manuver militer.