TRIBUNNEWS.COM - Serangan udara Israel di Rafah, Gaza selatan membuat dunia marah.
Bagaimana tidak, Israel melancarkan serangan terhadap sebuah kamp penampungan warga Palestina di dekat Rafah.
Akibatnya, sebanyak 45 orang tewas, termasuk 23 wanita, anak-anak, dan orang tua.
Sementara itu, sebanyak 249 orang terluka akibat serangan Israel di wilayah tersebut.
Para saksi mata menyebut, sebanyak delapan rudal menghantam kamp tersebut pada Minggu (26/5/2024) malam waktu setempat.
Setelah serangan mematikan Israel tersebut, dunia langsung bereaksi.
Dikutip dari The Guardian, Amerika Serikat (AS), sekutu setia Israel, menyebut serangan tersebut sangatlah menghancurkan.
Negara tetangga Mesir dan Yordania, yang berdamai dengan Israel beberapa dekade lalu juga mengutuk serangan ke Rafah.
Hubungan antara Mesir dan Israel, yang sempat dingin, telah mencapai titik nadir sejak operasi Rafah dimulai.
Situasi semakin memburuk pada hari Senin setelah militer Israel mengkonfirmasi telah terjadi baku tembak antara tentara Israel dan Mesir di daerah penyeberangan Rafah yang menewaskan sedikitnya satu anggota pasukan keamanan Mesir.
Militer kedua negara sedang meninjau insiden tersebut.
Baca juga: Detik-detik Bom Israel Hantam Tenda-tenda Pengungsi Rafah, Kata Korban Serangan Saat Kami akan Tidur
Prancis, sekutu Israel di Eropa, mengatakan mereka marah dengan serangan Rafah.
"Operasi ini harus dihentikan," kata Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
"Tidak ada wilayah aman di Rafah bagi warga sipil Palestina. Saya menyerukan penghormatan penuh terhadap hukum internasional dan gencatan senjata segera," tegasnya.
Beberapa ribu demonstran dilaporkan berkumpul di Paris pada Senin malam untuk memprotes serangan militer Israel di Gaza .
Tak hanya Macron, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell juga merasa marah atas serangan di Rafah.
"Ngeri dengan berita yang keluar dari Rafah mengenai serangan Israel yang menewaskan puluhan pengungsi, termasuk anak-anak. Saya mengutuk keras hal ini," ungkap Borrell.
Menteri Pertahanan Italia, Guido Crosetto, mengatakan bahwa pemboman seperti yang terjadi pada Minggu malam akan berdampak jangka panjang bagi Israel.
"Israel dengan pilihan ini menyebarkan kebencian, mengakar kebencian yang akan melibatkan anak cucu mereka. Saya lebih memilih keputusan lain," katanya.
Baca juga: Warga Turki Gelar Unjuk Rasa di Gedung Konsulat Israel Pascaserangan Rafah
Ketua Komisi Uni Afrika, Moussa Faki Mahamat, mengatakan bahwa Israel terus melanggar hukum internasional tanpa mendapat hukuman.
"Israel telah menghina keputusan pengadilan internasional yang memerintahkan diakhirinya aksi militernya di Rafah," ucapnya.
Menteri Luar Negeri Kanada, Melanie Joly mengatakan dia “ngeri” dengan serangan tersebut, dan menambahkan bahwa Kanada tidak mendukung operasi militer Israel di Rafah.
"Tingkat penderitaan manusia ini harus diakhiri. Kami menuntut gencatan senjata segera," ucap Melanie Joly.
Netanyahu 'Cuci Tangan'
Setelah mendapatkan tekanan dari dunia, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu seolah-olah 'cuci tangan' atas kejadian di Rafah.
Netanyahu menolak kritik yang berasal dari serangan Minggu malam di Rafah yang terkait dengan kematian banyak warga sipil Palestina.
Menyinggung insiden tersebut, Netanyahu mengklaim bahwa Israel telah melakukan upaya untuk menjaga keamanan warga sipil, dengan melakukan evakuasi.
Baca juga: Israel Tak Peduli meski Rafah Dianggap Zona Aman, Tenda-tenda Pengungsi Dihujani Bom
"Meskipun kami berupaya untuk tidak menyakiti mereka, terjadi kecelakaan tragis. Kami sedang menyelidiki kejadian tersebut," kata Netanyahu, dikutip dari Times of Israel.
"Bagi kami, ini adalah sebuah tragedi; bagi Hamas itu adalah sebuah strategi," ucapnya.
Meski telah mendapatkan tekanan dunia, Netanyahu menyampaikan pesan menantang dari mimbar Knesset pada Senin malam.
Ia telah bersumpah untuk terus berperang di Gaza meskipun ada kecaman internasional atas serangan di Rafah.
Netanyahu juga menolak tuduhan bahwa pemerintahnya tidak melakukan negosiasi dengan itikad baik untuk pembebasan sandera yang ditahan.
"Mereka yang mengatakan mereka tidak siap menghadapi tekanan mengibarkan bendera kekalahan; Saya tidak akan mengibarkan bendera seperti itu, saya akan terus berjuang sampai bendera kemenangan dikibarkan," ungkap Netanyahu.
"Saya tidak bermaksud mengakhiri perang sebelum semua tujuan tercapai."
"Jika kita menyerah, pembantaian akan kembali terjadi. Jika kita menyerah, kita akan memberikan kemenangan besar terhadap teror dan Iran," tegasnya.
Baca juga: Dunia Kutuk Pasukan Netanyahu yang Bakar Hidup-hidup Pengungsi Rafah: Israel Ciptakan Akar Kebencian
Komentar Netanyahu muncul hanya beberapa jam setelah anggota parlemen Gadi Eisenkot, yang merupakan pengamat di kabinet perang, dilaporkan mengatakan kepada Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan Knesset bahwa Israel harus menghentikan serangannya di Rafah.
Menurut laporan media Ibrani, Eisenkot mengatakan kepada komite tersebut bahwa hal yang benar untuk dilakukan di Jalur Gaza adalah mencapai akhir pertempuran di Rafah.
"Sama seperti kita berhenti melakukan gencatan senjata terakhir kali, kita dapat menghentikan pertempuran dan kembali melakukan gencatan senjata selama diperlukan untuk mencapai tujuan perang," kata Eisenkot.
Mengutuk perdana menteri atas penanganan konflik selama debat 40 tanda tangan, Pemimpin Oposisi Yair Lapid pada hari Senin meminta Netanyahu untuk duduk guna menyepakati tanggal pemilu sehingga Israel dapat “memiliki pemerintahan yang baik”.
(Tribunnews.com/Whiesa)