Bentrok Dimulai, Netanyahu Sekak Tentara Israel yang Akui Hamas Tak Bisa Dihancurkan
TRIBUNNEWS.COM - Perpecahan di antara kelompok petinggi politik pengambil keputusan di pemerintahan Israel dan dan Militer Pertahanan Israel (IDF) sudah terjadi.
Kantor Perdana Menteri Israel membalas pernyataan Juru Bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari yang mengakui kalau gerakan pembebasan Palestina, Hamas tidak bisa dihancurkan lewat pernyataan yang menohok.
Baca juga: Analis Militer Israel: Bentrokan Segera Pecah Antara Netanyahu dan Para Komandan Militer IDF
Seperti diketahui, Juru Bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari pada Rabu (19/6/2024) menilai target perang Israel untuk memberantas kelompok Hamas tidak mungkin tercapai.
Hal ini tampaknya menggarisbawahi ketegangan antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pejabat tinggi militer Israel mengenai cara dia menangani perang di Gaza.
“Urusan menghancurkan Hamas, membuat Hamas menghilang – ini hanya melempar pasir di mata publik,” kata Hagari kepada berita Channel 13 dalam sebuah wawancara.
“Hamas adalah sebuah ide, Hamas adalah sebuah partai. Hal ini berakar di hati masyarakat – siapa pun yang mengira kami dapat melenyapkan Hamas adalah salah,” lanjutnya.
Hagari juga memperingatkan bahwa “jika pemerintah tidak menemukan alternatif – [Hamas] akan tetap” berada di Jalur Gaza.
Sebagai tanggapan, kantor Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan kalau kabinet keamanan “telah menetapkan penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas sebagai salah satu tujuan perang.”
Baca juga: Pakar Militer: Jeda Pertempuran Indikasikan Jenderal Israel Mulai Mbalelo, Siap-siap Resign Massal
“Pasukan Pertahanan Israel tentu saja berkomitmen terhadap hal ini,” tambah pernyataan itu.
Unit Juru Bicara IDF kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengatakan kalau IDF tetap berkomitmen terhadap tujuan perang yang dinyatakan pemerintah, termasuk menghancurkan kemampuan pemerintahan dan militer Hamas.
Unit penerangan IDF juga menekankan kalau Hagari telah berbicara dalam wawancara tersebut dalam konteks“ memberantas Hamas sebagai sebuah ideologi dan ide.”
“Setiap klaim yang sebaliknya berarti pernyataan tersebut di luar konteks,” tambah IDF.
Baca juga: Jenderal Top Pentagon Ungkap Kebodohan Berulang Strategi Militer Israel di Gaza: Hamas Itu Ideologi
Tak Ada Rencana yang Jelas
Komentar Hagari pada Rabu menggemakan pernyataan yang dia buat bulan lalu, ketika dia ditanya apakah urgensi IDF untuk kembali ke wilayah di Gaza yang sebelumnya dibersihkan dari Hamas adalah akibat dari pemerintah yang tidak membuat keputusan tentang siapa yang akan memerintah Jalur Gaza dan bukan kelompok pembebasan Palestina tersebut.
“Tidak ada keraguan bahwa pemerintahan alternatif selain Hamas akan menciptakan tekanan terhadap Hamas, tapi itu adalah pertanyaan bagi eselon politik (di Tel Aviv),” katanya saat itu.
Menteri Pertahanan Yoav Gallant telah mendesak Netanyahu untuk memajukan rencana tata kelola Gaza pascaperang.
Gallant juga memperingatkan pada Mei bahwa kegagalan untuk menemukan pengganti Hamas akan melemahkan pencapaian militer Israel karena kelompok perlawanan tersebut akan mampu berkumpul kembali dan menegaskan kembali kendali atas daerah kantong tersebut.
Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah
Selain itu, Gallant meminta Netanyahu untuk mengenyampingkan gagasan pemerintahan militer dan sipil Israel di Gaza setelah berakhirnya perang yang dipicu oleh serangan gencar Hamas pada 7 Oktober, sebagaimana didukung oleh beberapa anggota sayap kanan koalisi Netanyahu.
Laporan televisi mengatakan Kepala Staf IDF Herzi Halevi dan kepala Shin Bet Ronen Bar juga baru-baru ini berselisih dengan Netanyahu mengenai perencanaan strategis, sementara pemimpin Persatuan Nasional Benny Gantz mengundurkan diri pekan lalu dari pemerintahan darurat perang setelah perdana menteri menolak untuk menyampaikan rencana pascaperang oleh Israel.
Militer IDF Kian Jelas Membangkang ke Netanyahu
Tanda-tanda perselisihan lainnya baru-baru ini antara militer dan Netanyahu memang makin jelas di publik.
Perpecahan itu termasuk mengenai “jeda taktis” dalam pertempuran di sepanjang jalan di Gaza selatan yang dikritik Netanyahu.
IDF mengatakan tindakan tersebut sejalan dengan instruksi perdana menteri untuk meningkatkan jumlah bantuan yang memasuki Jalur Gaza.
“Untuk mencapai tujuan menghancurkan kemampuan Hamas, saya harus membuat keputusan yang tidak selalu diterima oleh para pemimpin militer,” tegas Netanyahu dalam rapat kabinet hari Minggu.
Dia juga menyerang IDF dengan mengatakan “kita punya negara dengan tentara, bukan tentara dengan negara,” yang merupakan kebalikan dari sindiran tentang Prusia.
Putra tertua Netanyahu, Yair, dalam beberapa hari terakhir juga semakin mengecam para pemimpin militer, menyalahkan mereka atas pembantaian 7 Oktober yang, tidak seperti petinggi pertahanan, perdana menteri telah berulang kali menolak untuk mengakui tanggung jawabnya.
Tentara IDF Kelelahan Tapi Tetap Dipaksa Perang
Pakar militer dan strategis asal Yordania, Nidal Abu Zaid memberikan analisisnya terkait pengumuman dari tentara Israel (IDF) soal jeda pertempuran selama beberapa jam setiap hari untuk memperlancar pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Dia melihat, hal ini sebagai bentuk nyata kelelahan tentara IDF yang bertempur di Gaza tetapi tetap diminta untuk melanjutkan perang oleh Tel Aviv melalui keputusan politis Netanyahu.
Secara teknis, jeda pertempuran harian diumumkan IDF berlaku mulai pukul jam 8 pagi hingga jam 7 malam waktu setempat, dari Penyeberangan Kerem Shalom ke Jalan Salah al-Din dan lanjut ke utara.
Baca juga: Pakar Militer: IDF Mundur dari Rafah Karena Divisi Lapis Baja Jebol, Israel Membual Gempur Hizbullah
Abu Zaid mengamati, terjadi pertukaran komentar dan pernyataan di media yang dimulai sejak Minggu (16/6/2024) pagi antara pimpinan tentara pendudukan Israel dan politisi di pemerintah Netanyahu berlatar belakang keputusan taktis jeda pertempuran tersebut.
Abu Zaid menyebut, keputusan 'sepihak' dari IDF ini menunjukkan kalau Jenderal di IDF, termasuk kepala Staf IDF, Herzi Halevi, mulai membangkan alais mblalelo atas perintah bersifat politis dari pemerintahan Benjamin Netanyahu.
"Ini adalah pertama kalinya perselisihan semacam ini muncul (secara terbuka di publik). Dan tampaknya keputusan telah diambil, jauh dari (koordinasi) Dewan Perang dan juga jauh dari (koordinasi) Menteri Pertahanan, yang mengumumkan bahwa dia tidak mengetahui keputusan ini," kata Abu Zaid.
Dia menganalisis, tidak ada indikasi dari Kepala Staf IDF Herzi Halevi yang menunjukkan kalau dia tidak mengetahui keputusan tersebut.
"Ini menunjukkan kalau keputusan tersebut kemungkinan (diputuskan secara) terbatas antara Kepala Staf Herzi Halevy dan Komandan Wilayah Selatan di Gaza, Mayor Jenderal Yaron Finkelman," kata Abu Zaid.
Baca juga: Ahli Militer: Taktik Qassam Pintar Adaptasi Perang Panjang, Hizbullah Bunuh Israel Secara Perlahan
Potensi Resign Massal Petinggi Militer
Abu Zaid menekankan, pengambilan keputusan semacam itu tanpa mengacu pada serangkaian keputusan militer yang biasa terjadi di organisasi ketentaraan Israel, jelas menunjukkan adanya perbedaan pendapat antara politisi dan militer mengenai perang di Gaza dan dampaknya terhadap jalannya operasi.
"Keputusan ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sah (oleh pemimpin pemerintahan Israel)," katanya.
Dia menjelaskan, hal ini menjadi bukti lebih lanjut kalau para pimpinan angkatan darat IDF dan pimpinan eksekutif di lapangan lebih dari menyadari tingkat krisis yang dialami unit-unit tempur, tingkat kerugian, dan adanya masalah logistik terkait pasokan dan jumlah amunisi.
Artinya, langkah jeda pertempuran ini diambil sepihak oleh IDF karena kerugian besar yang mereka terima di lapangan, namun diminta terus melanjutkan perang oleh para politisi pemerintahan di Tel Aviv.
"Keputusan diambil di tingkat eksekutif oleh Kepala Staf dan orang pertama yang terlibat dalam operasi tersebut, Komandan Wilayah Selatan, Jenderal Winkelman, tanpa sepengetahuan pimpinan politik atau bahkan Dewan Perang," kata dia.
Abu Zaid menambahkan bahwa peristiwa ini dapat berkembang dan dapat memaksa para pemimpin politik untuk terburu-buru mengambil keputusan untuk menghentikan operasi militer di Rafah.
"Hal ini juga dapat meningkatkan kedalaman perselisihan yang dapat menyebabkan pengunduran diri secara massal para petinggi militer, baik menteri di Dewan Perang maupun Menteri Pertahanan atau para jenderal unit yang berhubungan langsung dengan operasi Gaza," kata dia.
Patut dicatat bahwa komando militer tiba-tiba mengumumkan pagi ini, Minggu, penghentian taktis operasi militer di Gaza selatan mulai pukul 08:00 waktu setempat, hingga pukul 19:00 setiap hari hingga pemberitahuan lebih lanjut di sepanjang jalan yang mengarah dari penyeberangan Kerem Shalom ke jalan Salah al-Din dan kemudian ke Utara.
Netanyahu Mengaku Tidak Tahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu rupanya tidak mengetahui militernya mengumumkan jeda pertempuran selama beberapa jam setiap hari untuk memperlancar pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Dilaporkan Reuters, Netanyahu mengkritik rencana tersebut.
Sebelumnya pada hari Minggu (16/6/2024), Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan jeda pertempuran harian mulai pukul jam 8 pagi hingga jam 7 malam waktu setempat, dari Penyeberangan Kerem Shalom ke Jalan Salah al-Din dan lanjut ke utara.
“Ketika perdana menteri mendengar laporan tentang jeda kemanusiaan selama 11 jam di pagi hari, dia langsung mendatangi sekretaris militernya dan mengatakan bahwa hal ini tidak dapat diterima,” kata seorang pejabat Israel.
IDF mengklarifikasi, bahwa operasi normal akan berlanjut di Rafah, fokus utama operasinya di Gaza selatan, di mana delapan tentara tewas pada hari Sabtu.
Reaksi penolakan Netanyahu menggarisbawahi ketegangan politik mengenai masalah bantuan yang masuk ke Gaza, di mana organisasi internasional sudah sering memperingatkan akan meningkatnya krisis.
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang memimpin salah satu partai keagamaan nasionalis dalam koalisi Netanyahu, mengecam gagasan jeda taktis itu.
Ia mengatakan, siapa pun yang memutuskan hal itu adalah orang "bodoh" yang pantas kehilangan pekerjaannya.
Perpecahan antara koalisi dan militer
Masih mengutip Reuters, ketegangan atau perselisihan semacam ini bukan yang pertama kali terjadi di antara koalisi pemerintahan Israel dan militer.
Seminggu sebelumnya, mantan jenderal sentris Benny Gantz mundur dari pemerintahan, menuduh Netanyahu tidak memiliki strategi yang efektif di Gaza.
Perpecahan ini terungkap pekan lalu dalam pemungutan suara parlemen mengenai undang-undang tentang wajib militer Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer.
Baca juga: Israel Umumkam Jeda Pertempuran Harian dari Jam 8 Pagi hingga Jam 7 Malam di Wilayah Salah al-Din
Menteri Pertahanan Yoav Gallant menentangnya.
Ia mengatakan, bahwa undang-undang tersebut tidak cukup untuk kebutuhan militer.
Partai-partai keagamaan dalam koalisi sangat menentang wajib militer bagi kelompok ultra-Ortodoks, sehingga memicu kemarahan luas dari banyak warga Israel, yang semakin mendalam seiring dengan berlanjutnya perang.
Panglima militer Israel Letnan Jenderal Herzi Halevi, mengatakan pada hari Minggu bahwa ada kebutuhan yang pasti untuk merekrut lebih banyak tentara dari komunitas ultra-Ortodoks yang berkembang pesat.
Tentara Cadangan di Bawah Ketegangan
Meskipun ada tekanan internasional yang semakin besar untuk melakukan gencatan senjata, kesepakatan untuk menghentikan pertempuran masih belum tercapai.
Saat ini sudah lebih dari delapan bulan sejak serangan 7 Oktober oleh pejuang Hamas terhadap Israel yang memicu serangan Israel di daerah kantong tersebut.
Sejak itu, agresi militer Israel telah menewaskan lebih dari 37.000 warga Palestina, menurut angka Kementerian Kesehatan Palestina.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar warga Israel memang mendukung tujuan pemerintah menghancurkan Hamas.
Tetapi terdapat protes luas yang menyerang pemerintah Netanyahu karena ia tidak berbuat lebih banyak untuk memulangkan para sandera di Gaza.
Sementara itu, pejabat kesehatan Palestina mengatakan tujuh warga Palestina tewas dalam dua serangan udara di dua rumah di kamp pengungsi Al-Bureij di Jalur Gaza tengah.
Ketika pertempuran di Gaza terus berlanjut, konflik lainnya di perbatasan Israel-Lebanon kini berpotensi berkembang menjadi perang yang lebih luas.
Baku tembak terjadi hampir setiap hari antara pasukan Israel dan milisi Hizbullah yang didukung Iran semakin meningkat.
(oln/toi/khbrn/*)