'Pemberian' roket itu disebut-sebut bertujuan untuk mengakibatkan kerusakan signifikan pada infrastruktur Israel dan mengambat akses maritim ke pantai Mediterania Israel.
Hizbullah juga diketahui memiliki jumlah senjata yang bisa menghalangi pasukan berjumlah besar dan lebih maju.
Misalnya, Hizbullah bisa mengerahkan kawanan drone secara bersamaan terhadap satu sasaran untuk melumpuhkan sistem pertahanan udara Israel.
Selain itu, Hizbullah memiliki sistem pertahanan seperti SA-22 Rusia, yang bisa menargetkan pesawat terbang, helikopter, rudal balisitik dan jelajah, serta drone.
Aset-aset itu menjadi tantangan besar bagi militer Israel, yang sangat bergantung pada Angkatan Udaranya.
Hamas
Hamas didirikan pada awal intifada pertama pada 1987, saat ribuan warga Palestina memprotes pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza.
Baca juga: IDF Hadapi Situasi Menantang di Rafah, Komandan Brigade Nahal Kewalahan: Ini Sangat Melelahkan
Selama bertahun-tahun, Hamas telah mengembangkan infrastruktur militer dan meningkatkan kekuatannya, serta meningkatkan kemampuannya dalam hal jangkauan dan pesenjataan.
Kelompok ini juga telah menggali sistem terowongan canggih di bawah Jalur Gaza, serta sebagian wilayah Israel dan Mesir.
Terowongan buatan Hamas itu dirancang untuk menyembunyikan dan menutupi para pejuangnya, sehingga menyulitkan IDF untuk melacak dan menemukan mereka.
Hamas bisa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Israel jika terjadi serangan darat.
Pada 2021, Hamas mampu menembakkan lebih dari 4.000 roket ke arah Israel selama perang 11 hari.
Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, tak pernah merinci berapa jumlah pasti pejuangnya.
Tetapi, berbagai sumber mengklaim Al-Qassam memiliki 7 ribu-50 ribu pasukan.
Sumber anonim mengatakan kepada Reuters, Al-Qassam punya akademi militer yang menawarkan pelatihan khusus, termasuk keamanan siber.