Video di media sosial menunjukkan para pendukung Pezeshkian menari di jalan-jalan di banyak kota di seluruh negeri dan pengendara membunyikan klakson mobil untuk bersorak atas kemenangannya.
- Masoud Pezeshkian yang beraliran tengah telah memenangkan putaran kedua pemilihan presiden Iran melawan Saeed Jalili yang beraliran konservatif garis keras
- Penghitungan suara resmi menempatkan Pezeshkian sebagai pemenang dengan 16,3 juta surat suara dan Jalili 13,5 juta.
- Menurut angka resmi, jumlah pemilih pada putaran kedua mencapai 49,8 persen.
- Pemilu awalnya dijadwalkan pada tahun 2025 tetapi dimajukan setelah meninggalnya Presiden Ebrahim Raisi, yang tewas dalam kecelakaan helikopter pada bulan Mei.
TRIBUNNEWS.COM, IRAN - Masoud Pezeshkian terpilih jadi Presiden Republik Islam Iran dalam pemilu putaran dua yang baru saja selesai digelar, Jumat (5/7/2024) waktu setempat.
"Jumlah pemilih dalam putaran kedua mencapai 49,8 persen dari sekitar 61 juta warga Iran yang memenuhi syarat memberikan suaranya," menurut juru bicara otoritas pemilu Mohsen Eslami.
Pada putaran pertama tanggal 28 Juni, jumlah pemilih hanya 40 persen, rekor terendah sejak revolusi negara itu tahun 1979.
Pezeshkian memperoleh 53,7 persen suara atau 16,3 juta menurut hitungan resmi.
Sementara rivalnya Saeed Jalili menerima 44,3 persen atau 13,5 juta suara.
“Dengan memperoleh suara terbanyak yang diberikan pada hari Jumat, Pezeshkian telah menjadi presiden Iran berikutnya,” kata Kementerian Dalam Negeri.
Baca juga: Iran Gelar Pilpres Putaran Kedua, Pertarungan Masoud Pezeshkian VS Saeed Jalili
Kandidat calon presiden Iran diikuti dua orang yakni Masoud Pezeshkian anggota parlemen yang tidak menonjolkan diri dan disebut tokoh moderat.
Serta lawannya mantan negosiator nuklir garis keras Saeed Jalili, seorang pendukung setia Rusia dan Cina.
Tokoh Moderat
Media Israel JerussalemPost dan Times of Israel menyebut Pezeshkian adalah tokoh moderat.
Pezeshkian adalah orang-orang mapan yang setia pada teokrasi Iran.
Sementara Jalili dikenal anti-Barat akan menandakan kemungkinan kebijakan dalam negeri yang lebih otoriter dan kebijakan luar negeri yang antagonis.
Kemenangan Pezeshkian dapat mendorong kebijakan luar negeri yang pragmatis, meredakan ketegangan atas negosiasi yang kini terhenti dengan negara-negara besar untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, dan meningkatkan prospek liberalisasi sosial dan pluralisme politik.