News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

7 Hal tentang Pemilu Prancis yang Berakhir Tanpa Pemenang Mutlak, Apa yang Terjadi Selanjutnya?

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Suci BangunDS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Macron, Melenchon dan Le Pen. 3 aliansi teratas partai politik Prancis tidak ada yang berhasil memenangkan suara mayoritas dalam pemilu legislatif Prancis, apa yang terjadi selanjutnya?

TRIBUNNEWS.COM - Aliansi partai-partai sayap kiri berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilihan legislatif Prancis putaran kedua pada Minggu (7/7/2024).

Namun, aliansi tersebut belum mampu meraih suara minimum untuk dapat membentuk pemerintahan.

Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

Berikut 7 hal yang perlu diketahui seputar pemilu Prancis, dilansir Al Jazeera dan expatica.com.

1. Apakah aliansi sayap kiri memenangkan pemilu Prancis?

Sebenarnya tidak juga.

Untuk memenangkan pemilu, partai atau koalisi harus mendapatkan setidaknya 289 dari 577 kursi di National Assembly atau Majelis Nasional (majelis rendah pada Parlemen Prancis).

Terdapat tiga aliansi yang mendominasi, tetapi semuanya gagal meraih suara mayoritas.

- Front Populer Baru (NFP), sebuah aliansi luas partai-partai sayap kiri dan lingkungan hidup, memenangkan jumlah kursi terbanyak, 188 kursi.

- Ensemble! koalisi sentris yang dipimpin oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, berada di urutan kedua dengan 161 kursi.

- National Rally (RN) dan sekutunya, yang dipimpin oleh pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, memenangkan 142 kursi.

Hasil pemilu legislatif Prancis (Al Jazeera)

2. Bagaimana cara Prancis membentuk pemerintahan?

Karena tidak satu pun dari ketiga aliansi tersebut yang memenangkan mayoritas, Prancis kini memiliki parlemen yang menggantung.

Baca juga: Geger Politik Prancis, Perebutan Kursi Perdana Menteri Makin Panas, Bagaimana Macron Bersikap?

Pemerintahan koalisi perlu dibentuk antar aliansi atau antar partai politik.

Para ahli memperkirakan bahwa aliansi partai-partai sentris yang dipimpin Macron akan mencoba membentuk koalisi dengan Partai Sosialis dan Partai Hijau, partai-partai yang lebih moderat dalam aliansi sayap kiri, New Popular Front (NFP), daripada mencoba menjalin hubungan dengan Partai France Unbowed yang berhaluan kiri jauh pimpinan Jean-Luc Melenchon.

Presiden telah mengatakan, dia tidak akan bergabung dengan France Unbowed.

Selama kampanye pemilu, Macron menyebut, Partai France Unbowed sebagai kelompok yang sama berbahayanya dengan kelompok sayap kanan.

Namun pertikaian utama antara blok kiri dan Macron adalah reformasi pensiun yang dilakukannya.

Pada tahun 2023, Macron menaikkan usia pensiun negara dari 62 tahun menjadi 64 tahun.

“(Sayap) Kiri dengan keras menentangnya. Mereka mungkin menjadikan ini sebagai syarat untuk bergabung, yang akan ditolak oleh Macron,” kata Rainbow Murray, profesor politik di Queen Mary University of London dan pakar politik Prancis.

Alternatifnya, kelompok sentris dapat membentuk pemerintahan minoritas dengan menyatukan kelompok moderat dari kiri dan kanan dan melakukan kompromi, kata Murray kepada Al Jazeera.

Umumnya, pemilihan legislatif dilakukan setelah pemilihan presiden.

Presiden yang baru terpilih kemudian menunjuk perdana menteri (biasanya pemimpin partai, atau koalisi partai, dengan kursi Majelis terbanyak) yang kemudian akan membentuk pemerintahan baru.

Pemerintahan baru ini terdiri dari Dewan Menteri ditambah menteri dan Sekretaris Negara lainnya.

Setiap pengangkatan menteri harus mendapat persetujuan presiden.

Tetapi kasus kali ini berbeda.

Macron membubarkan majelis rendah parlemen dan mengadakan pemilu lebih awal setelah partainya dikalahkan oleh sayap kanan dalam pemilu Eropa (UE) pada 9 Juni lalu.

Baca juga: Partai Macron Kalah Telak, Prancis Bakal Berubah Haluan

“Saya telah memutuskan untuk memberikan lagi pilihan masa depan parlemen kita melalui pemungutan suara. Oleh karena itu saya membubarkan Majelis Nasional."

“Keputusan ini serius dan berat, namun yang terpenting, ini merupakan tindakan kepercayaan… terhadap kapasitas rakyat Prancis untuk membuat pilihan yang tepat bagi diri mereka sendiri dan generasi mendatang,” kata Macron dalam pengumumannya.

3. Bagimana perdana menteri dipilih?

Perdana menteri ditunjuk oleh presiden.

Tidak ada batas waktu tertentu bagi Macron untuk menunjuk perdana menteri baru.

Tetapi Perdana Menteri Gabriel Attal dari partai Renaisans pimpinan Macron mengumumkan bahwa dia akan mundur.

“Menjadi perdana menteri adalah kehormatan dalam hidup saya. Malam ini kelompok politik yang saya wakili sudah tidak memiliki mayoritas, dan besok pagi saya akan mengajukan pengunduran diri saya ke presiden,” ujarnya setelah hasilnya jelas.

Namun, Attal akan tetap berperan sebagai caretaker untuk sementara waktu karena Olimpiade Paris, yang akan dimulai akhir bulan ini.

“Kita mungkin tidak akan melihat pencalonan seorang PM dalam beberapa hari atau beberapa minggu,” ujar sejarawan yang menjadi jurnalis Diane Vignemont, yang berbasis di Paris, kepada Al Jazeera.

Macron memang tidak diwajibkan menunjuk perdana menteri dari partai dengan jumlah kursi terbanyak di parlemen.

Dia secara teknis dapat menunjuk siapa pun yang dia suka dari salah satu partai.

Namun, untuk membentuk pemerintahan koalisi yang bisa diterapkan, Macron kemungkinan besar perlu menunjuk seorang perdana menteri dari NFP, yang dalam pemilu kali ini memenangkan kursi terbanyak.

Pemimpin NFP Jean-Luc Melenchon sudah meminta presiden melakukan hal ini.

“Kehendak rakyat harus dihormati dengan ketat,” ujarnya.

“Tidak ada 'pengaturan' yang bisa diterima. Kekalahan presiden dan koalisinya jelas terkonfirmasi. Presiden harus menerima kekalahannya.”

Baca juga: Partainya Kalah, Presiden Macron Bubarkan Parlemen dan Serukan Pemilu Nasional Dipercepat

Belum ada pemimpin yang diajukan sebagai calon perdana menteri oleh blok kiri.

Melenchon adalah salah satu pilihan, namun kemungkinan besar ia tidak populer di kalangan pemilih moderat.

Pilihan lainnya yakni mantan jurnalis dan pembuat film Francois Ruffin, yang berafiliasi dengan France Unbowed; Boris Vallaud dari Partai Sosialis; atau Laurent Berger yang non-partisan.

4. Pernahkah parlemen Prancis menggantung sebelumnya?

Pernah, tapi tidak seperti ini.

Pada pemilu 2022, partai Macron meraih 245 kursi.

Namun, pemerintahannya menerima dukungan diam-diam dari partai Republik yang konservatif, jelas Murray.

Di zaman modern, Perancis belum pernah memiliki parlemen yang tidak memiliki partai dominan.

Namun hal itu pernah terjadi periode 1986-1988, 1993-1995 dan 1997-2002, ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai berbeda.

Namun, dalam kasus ini, perdana menteri juga Gabriel Attal memimpin mayoritas di Majelis Nasional.

Situasi yang terjadi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya.

5. Apakah kebuntuan mengenai isu-isu penting dapat dihindari?

Pasal 49.3 konstitusi menjadi solusi atas kebuntuan politik.

Paragraf ketiga Pasal 49 mengizinkan pemerintah untuk segera mengesahkan sebuah rancangan undang-undang tanpa pemungutan suara di Majelis Nasional.

Perdana menterilah yang memegang kekuasaan khusus ini.

Macron pernah menggunakan 49.3 (melalui perdana menterinya) satu kali selama masa jabatan pertamanya (2017-2022) dan 11 kali sejak awal masa jabatan keduanya.

Terakhir kali 49.3 digunakan adalah untuk mendorong salah satu kebijakan andalan Macron, reformasi pensiun, pada bulan Maret 2023.

Jika parlemen tidak setuju dengan RUU tersebut, legislator dapat mengajukan mosi tidak percaya dalam waktu 24 jam, yang memerlukan 289 suara untuk disahkan.

Oleh karena itu, masuk akal untuk menerapkan 49.3, tetapi hanya jika tidak ada mayoritas yang menentang pemerintah, kata Murray.

6. Akankah Macron tetap menjabat?

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyaksikan saat dia menunggu kedatangan anggota Kepresidenan tripartit Bosnia dan Herzegovina, di Istana Kepresidenan Elysee, di Paris, pada 9 November 2023. (Ludovic MARIN / AFP)

Masa jabatan presiden Macron berakhir pada tahun 2027, dan dia tidak berniat untuk mundur sebelum tahun tersebut, katanya dalam sebuah pernyataan pada 12 Juni.

Konstitusi memberi Macron kekuasaan atas kebijakan luar negeri dan angkatan bersenjata.

Keberhasilan aliansi sayap kiri dalam pemilu kali ini berpotensi melemahkan Macron.

Beberapa ahli kini berspekulasi, bahwa Macron mungkin menganggap hasil pemilu hari Minggu sebagai mosi tidak percaya.

Ia kemudian bisa saja mengundurkan diri dan memicu pemilihan presiden secepatnya.

7. Mengenal Sistem Politik Prancis

Mengutip expatica.com, Perancis memiliki sistem politik presidensial/parlementer campuran.

Kepala negara adalah Presiden.

Presiden mengangkat Perdana Menteri (PM) sebagai kepala pemerintahan.

Parlemen Perancis bersifat bikameral.

Majelis rendah disebut Majelis Nasional (Assemblée Nationale), yang berkedudukan di Palais Bourbon dengan 577 anggota (député) terpilih.

Majelis tinggi adalah Senat (Sénat) yang berada di dalam Istana Luksemburg.

Majelis tinggi memiliki 348 senator yang dipilih oleh lembaga perwakilan pemilihan.

Senat belakangan ini bersikap konservatif secara politik, dengan mayoritas sayap kanan.

Meskipun majelis kamar tersebut mempunyai kekuasaan yang sama, Majelis Nasional adalah yang paling menonjol di antara keduanya.

Prancis memiliki presiden dan juga perdana menteri.

Presiden adalah orang yang paling berkuasa dalam politik Perancis, dan umumnya merupakan tokoh paling terkenal dalam pemerintahan Perancis.

Masyarakat memilih presiden yang biasanya mewakili salah satu partai politik Perancis.

Merupakan tanggung jawab presiden Perancis untuk menunjuk seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

Perdana menteri Perancis seringkali tidak dapat bertahan dalam masa jabatan penuh di parlemen, dan banyak yang mengundurkan diri lebih awal karena berbagai alasan.

Meskipun presiden tidak mempunyai wewenang untuk memberhentikan perdana menteri, presiden dapat meminta mereka mengundurkan diri.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini