TRIBUNNEWS.COM – Seorang ilmuwan kenamaan asal Amerika Serikat (AS) bernama Robert Sapolsky mengatakan Israel dan Palestina bagaikan dua “underdog” yang diadu oleh kolonialisme Eropa.
Awalnya Sapolsky menyebut kepemimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang “destruktif” telah menghancurkan setiap peluang perdamaian di Palestina.
Dia sempat meyakini masalah Israel-Palestina bisa diselesaikan lewat perundingan dan dialog. Namun, dia kini pesimistis akan hal itu.
Menurut dia, keputusan dan tindakan Netanyahu didorong oleh “balas dendam emosional”.
Sapolsky berujar keputusan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) terhadap Netanyahu bisa dibenarkan. Sebelumnya, ICC telah meminta Netanyahu untuk ditangkap.
“Dan fakta strategisnya bahwa ketika perang ini berakhir, dia (Netanyahu) menghadapi dakwaan pidana atas korupsi. Makin lama perang berlangsung, makin lama dia menghindari pengadilannya,” ujar Sapolsky dikutip dari Anadolu Agency.
Sapolsky yang menjadi ilmuwan saraf itu telah mempelajari rasisme interseksional, kesenjangan, dan konflik bekepanjangan melalui sudut pandang psikologi dan biologi perilaku.
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa jalan yang mengarah kepada rekonsiliasi sejati itu panjang dan penuh dengan “keluhan historis yang mendalam”.
Penghancuran yang dilakukan oleh Israel makin mempersulit tantangan rekonsiliasi.
“Kehidupan 2 juta orang di Gaza perlu dibangun kembali. Itulah titik mulanya,” kata dia.
Dia meragukan kemunculan pemimpin visioner yang memulai memulai perubahan transormatif, seperti mantan Presiden Mesir Anwar Sadat.
Baca juga: Hamas: Jika Israel Nekat Serang Gaza, Perundingan Gencatan Senjata Kembali ke Titik Nol
Bahkan jika sosok seperti itu muncul, masih diperlukan waktu yang lama agar rekonsiliasi bisa terjadi.
“Diperlukan satu atau dua generasi bagi dua belah pihak agar sadar bahwa mereka lebih baik hidup berdampingan daripada tidak,” ucapnya.
“Mungkin tiga atau empat atau sepuluh generasi sebelum mereka benar-benar melihat satu sama lain sebagai orang yang nyata.”
Dia menyebut akar kebencian dan permusuhan berasal dari penjajah Eropa.
Kata dia, persoalan Israel-Palestina adalah “dua underdog yang diadu satu sama lain oleh kolonialisme Eropa”.
“Salah satunya bukan lagi underdog, tetapi akarnya masih tetap sama, mereka diatur demi kebencian,” ujar dia.
Sapolsky kemudian menyinggung kesamaan sejarah. Menurutnya, para penjajah Inggris melakukan tindakan brutal serupa terhadap orang-orang di seluruh dunia, terutama di Inggris, Afrika, dan Asia.
Inggris membenci orang Irlandia selama 400 tahun. Kebencian ini, kata dia, mirip kebencian di antara orang Palestina dan Israel.
“Bangsa Eropa muncul dengan pola pikir yang sudah ratusan tahun: Bahwa orang-orang di sekitar kalian benar-benar mengerikan dan berbahaya.”
Dia mengkritik cara Inggris memberikan tanah Palestina yang diduduki. Hal itu makin memperdalam permusuhan dan memunculkan penghalang psikologis di antara kedua belah pihak.
Sapolsky menyinggung contoh rekonsiliasi yang terjadi di wilayah konflik, misalnya di Irlandia Utara. Namun, dia menyebut persoalan Israel-Palestina jauh lebih rumit.
Baca juga: 3 Tahanan Palestina Ditemukan Tewas Tak Lama setelah Dibebaskan Israel, Tangan Masih Terikat
“Kalian masih bisa melihat pohon zaitun yang ditanam kakek kalian, dan kalian masih mengingat kisah Hitler yang diceritakan kakek nenek kalian. Yang satu ini tidak bisa diatasi dengan mudah,” katanya,
Mengenai gerakan solidaritas mahasiswa dunia untuk Palestina, Sapolsky menyebut mereka geram atas penderitaan yang dialami warga Palestina.
Dia mengkritik keterlibatan universitas-universitas secara tidak langsung dalam perdagangan senjata.
Menurutnya, hal itu mirip dengan aksi solidaritas yang pernah dilakukannya selama era apartheid di Afrika Selatan. Kala itu dia mengkritik perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari segregasi rasial dan eksploitasi.
Terlepas dari terbatasnya pengetahun sejarah para mahasiswa, mereka merasakan penderitaan yang dialami orang lain.
(Tribunnews/Febri)