News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Janda pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi divonis hukuman mati

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Janda pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi divonis hukuman mati

Seorang janda pemimpin kelompok ISIS telah divonis hukuman mati di Irak karena bekerja dengan kelompok ekstremis tersebut dan menahan perempuan dari kelompok minoritas Yazidi di rumahnya.

Dalam sebuah wawancara yang jarang terjadi di penjara awal tahun ini, dia menceritakan kisah hidupnya bersama suaminya.

Umm Hudaifa adalah istri pertama Abu Bakr al-Baghdadi dan menikah dengan pria itu saat ia memimpin pemerintahan brutal ISIS di sebagian besar Suriah dan Irak.

Umm Hudaifa telah ditahan di penjara Irak sejak Februari 2024 lalu, ketika dia diselidiki atas kejahatan terkait terorisme.

Pada musim panas 2014, Umm Hudaifa tinggal di Kota Raqqa, basis ISIS di Suriah, bersama al-Baghdadi.

Sebagai buronan pemimpin kelompok jihad ekstremis, al-Baghdadi kerap menghabiskan waktu di sejumlah lokasi berbeda.

Dan pada salah satu kesempatan, dia mengirimkan seorang pengawalnya ke rumah untuk menjemput dua anaknya yang masih kecil.

“Dia mengatakan kepada saya bahwa mereka akan melakukan perjalanan untuk mengajak anak-anaknya belajar berenang,” kata Umm Hudaifa.

Di rumahnya ada televisi yang biasa dia tonton secara sembunyi-sembunyi.

“Saya biasa menyalakannya saat dia tidak ada di rumah,” katanya, seraya menambahkan keinginannya menonton televisi itu tidak berhasil.

Umm Hudaifa mengatakan, dia terputus dari dunia luar karena suaminya tidak mengizinkannya menonton televisi atau menggunakan teknologi lain, seperti telepon seluler, sejak 2007.

Beberapa hari setelah pengawalnya membawa anak-anaknya, dia mengaku dapat menyalakan televisi dan mendapat “kejutan besar”.

Umm Hudaifa melihat suaminya berpidato di Masjid Agung al-Nuri di kota Mosul, Irak utara.

Untuk pertama kalinya, al-Baghdadi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin, hanya beberapa pekan setelah kelompok bersenjata yang dipimpinnya menguasai wilayah tersebut.

Rekaman video al-Baghdadi yang tampil pertama kali di depan umum, dengan janggut panjang, mengenakan jubah hitam dan menuntut kesetiaan dari umat Islam, menyebar di seluruh dunia dan menandai momen penting bagi kelompok ISIS ketika mereka menguasai Irak dan Suriah.

Umm Hudaifa memaparkan pemandangan dari penjara yang penuh sesak di ibu kota Irak, Baghdad, tempat dia ditahan sementara selagi pihak berwenang Irak menyelidiki perannya dalam ISIS dan berbagai kejahatan kelompok tersebut.

Suasananya semrawut karena narapidana yang dituduh melakukan berbagai kejahatan, termasuk penggunaan narkoba dan pekerja seks, dipindahkan ke sekitar penjara, dan saat bersamaan kiriman makanan datang dari luar.

Kami akhirnya menemukan tempat yang relatif tenang di perpustakaan dan berbicara selama hampir dua jam.

Selama percakapan, Umm Hudaifa menggambarkan dirinya sebagai korban yang mencoba melarikan diri dari suaminya dan menyangkal bahwa dia terlibat dalam aktivitas brutal ISIS.

Pengakuannya ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan dalam gugatan pengadilan perdata terpisah yang diajukan oleh sejumlah perempuan Yazidi yang diculik dan diperkosa oleh anggota ISIS – mereka menuduh Umm Hudaifa berkolusi dalam perbudakan seksual terhadap anak perempuan dan perempuan yang diculik.

Dalam wawancara, Umm Hudaifa tidak pernah mengangkat kepalanya. Dia mengenakan pakaian hitam dan hanya memperlihatkan sebagian wajahnya, hingga ke bagian bawah hidungnya.

Umm Hudaifa, kelahiran 1976, berasal dari keluarga konservatif dan menikah dengan Ibrahim Awad al-Badri, yang kemudian dikenal dengan nama samaran Abu Bakar al-Baghdadi, pada 1999.

Umm Hudaifa menyelesaikan studi Syariah, atau hukum Islam, di Universitas Baghdad dan dia mengatakan pada saat itu dia “religius tapi tidak ekstrem… konservatif tapi berpikiran terbuka”.

Kemudian pada 2004, setahun setelah invasi pimpinan AS ke Irak, pasukan AS menahan al-Baghdadi dan menahannya di pusat penahanan di Kamp Bucca di wilayah selatan selama sekitar satu tahun.

Bersama dengan banyak pria lain yang di tahan di sana, mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh senior di kelompok ISIS dan kelompok jihad lainnya.

Bertahun-tahun setelah pembebasannya, Umm Hudaifa mengklaim suaminya telah berubah: “Dia menjadi gampang marah dan mudah sekali emosi.”

Sejumlah orang yang mengenal sosok al-Baghdadi mengatakan bahwa dia pernah terlibat dengan al-Qaeda sebelum berada di Bucca, namun baginya, hal itu menandai titik balik setelah dia menjadi semakin ekstrem.

“Al-Baghdadi mulai terjerat masalah psikologis,” kata Umm Hudaifa. Ketika sang istri bertanya mengapa, al-Baghdadi berujar kepadanya bahwa “dia dihadapkan sesuatu yang ‘kamu tak akan mengerti’”.

Umm Hudaifa meyakini bahwa meskipun dia tidak secara eksplisit mengatakannya, “selama penahanannya al-Baghdadi menjadi sasaran penyiksaan seksual”.

Rekaman video dari penjara lain yang dikelola AS di Irak, Abu Ghraib, yang terungkap pada tahun itu memperlihatkan para tahanan dipaksa untuk melakukan simulasi tindakan seksual dan melakukan pose yang memalukan.

Kami menyampaikan tuduhan itu ke Departemen Pertahanan AS, Pentagon, tetapi belum mendapat tanggapan.

Umm Hudaifa bilang dia mulai bertanya-tanya apakah suaminya anggota kelompok militan.

“Saya biasa menggeledah pakaiannya saat dia pulang ke rumah, saat dia mandi, atau saat dia hendak tidur.

“Saya bahkan mencari luka memar atau luka di tubuhnya… Saya bingung,” katanya, tetapi dia tidak menemukan apa pun.

“Saat itu aku memberitahunya, ‘Kamu tersesat’… hal itu membuatnya marah besar.”

Dia menggambarkan bagaimana mereka sering pindah rumah, memiliki identitas palsu dan suaminya menikahi istri kedua.

Ummu Hudaifa mengatakan dia meminta cerai tapi dia tidak setuju dengan syaratnya agar menyerahkan anak-anak mereka. Inilah alasan kenapa dia dia tetap tinggal bersamanya.

Ketika Irak dilanda perang sektarian berdarah yang berlangsung dari 2006 hingga 2008, dia yakin sekali bahwa suaminya terlibat dalam kelompok jihad Sunni.

Pada 2010 dia menjadi pemimpin kelompok Negara Islam Irak - dibentuk pada 2006 dan merupakan kelompok payung organisasi jihad Irak.

“Kami pindah ke pedesaan Idlib di Suriah pada Januari 2012, dan di sana menjadi jelas bagi saya bahwa dialah emir [pemimpin],” kata Umm Hudaifa.

Negara Islam Irak adalah salah satu kelompok yang kemudian bergabung untuk membentuk kelompok Negara Islam yang lebih luas yang mendeklarasikan kekhalifahan – sebuah negara Islam yang diatur berdasarkan Syariah oleh seseorang yang dianggap sebagai wakil Tuhan di Bumi – dua tahun kemudian.

Saat itu, katanya, dia mulai mengenakan pakaian ala orang Afghanistan, menumbuhkan janggut, dan membawa pistol.

Ketika situasi keamanan memburuk di barat laut Suriah selama perang saudara di negara itu, mereka pindah ke wilayah timur menuju kota Raqqa, yang kemudian dianggap sebagai ibu kota de facto “kekhalifahan” ISIS.

Di sinilah Ummu Hudaifa tinggal ketika dia melihat suaminya di televisi.

Kebrutalan kelompok-kelompok yang membentuk ISIS sudah diketahui secara luas, namun pada 2014 dan 2015, kekejaman tersebut menjadi lebih luas dan mengerikan.

Sebuah tim investigasi PBB melaporkan bahwa mereka telah menemukan bukti bahwa ISIS melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Yazidi di Irak.

ISIS juga disebut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan perbudakan.

ISIS menyiarkan kekejamannya, termasuk aksi pemenggalan sandera dan pembakaran seorang pilot Yordania, di media sosial.

Dalam insiden terkenal lainnya, mereka membantai sekitar 1.700 tentara Irak yang berlatar Syiah.

Para korban baru saja meninggalkan lokasi pelatihan di pangkalan militer Speicher di utara Baghdad untuk menuju kota asal mereka.

Sejumlah perempuan yang pernah tinggal bersama kelompok ISIS saat ini mengatakan bahwa mereka tidak mengerti apa yang mereka hadapi.

Hal ini kemudian saya tanyakan kepada Umm Hudaifa tentang apa yang dia saksikan saat itu.

Dia mengaku saat itu dia tidak bisa melihat video atau foto yang menggambarkan kekerasan.

Namun dia dapat menggambarkan kekejaman tersebut sebagai "sangat mengejutkan, tidak manusiawi” dan menyebut “tindakan kekerasan itu melanggar batas kemanusiaan”.

Ummu Hudaifa mengaku dia sempat menentang suaminya perihal “darah orang-orang yang tidak bersalah” di tangannya dan mengatakan kepadanya bahwa “menurut hukum Islam ada hal-hal lain yang bisa dilakukan, misalnya membimbing mereka agar bertobat”.

Dia menggambarkan bagaimana suaminya berkomunikasi dengan para pemimpin ISIS melalui laptopnya.

Al-Baghdadi menyimpan komputernya terkunci di dalam tas kerja.

“Saya mencoba membobolnya untuk mencari tahu apa yang terjadi,” katanya, “tetapi saya buta teknologi dan selalu terbentur kode sandi.”

Ummu Hudaifa berkata, dia mencoba melarikan diri, namun orang-orang bersenjata di pos pemeriksaan menolak membiarkannya lewat dan mengirimnya kembali ke rumah.

Menyinggung soal pertempuran saat itu, sejauh yang dia tahu suaminya ”tidak mengambil bagian dalam pertempuran apa pun”.

Ummu Hudaifa kemudian menambahkan bahwa suaminya berada di Raqqa ketika ISIS menguasai Mosul - al-Baghdadi kemudian pergi ke Mosul untuk menyampaikan pidatonya.

Segera setelah pidato deklarasi ISIS itu, al-Baghdadi menikahkan putri mereka yang berusia 12 tahun, Umaima, dengan temannya, Mansour, yang dipercaya untuk mengurus urusan keluarga. Ummu Hudaifa mengatakan dia mencoba mencegahnya, tapi diabaikan.

Sumber di otoritas keamanan Irak mengatakan kepada kami bahwa Umaima pernah menikah satu kali sebelumnya, pada usia delapan tahun, dengan juru bicara ISIS di Suriah.

Namun, dia mengatakan pernikahan pertama diatur agar sang pria bisa masuk ke rumah saat al-Baghdadi pergi, dan hubungan itu tidak bersifat seksual.

Kemudian pada Agustus 2014, Ummu Hudaifa kembali melahirkan seorang putri bernama Nasiba yang menderita kelainan jantung bawaan.

Ini bertepatan dengan Mansour yang membawa sembilan remaja dan perempuan Yazidi ke rumahnya. Usia mereka berkisar antara sembilan hingga sekitar 30 tahun.

Mereka hanyalah segelintir dari ribuan perempuan dan anak-anak Yazidi yang diperbudak oleh ISIS – ribuan lainnya terbunuh.

Ummu Hudaifa mengatakan dia terkejut dan “merasa malu”.

Ada dua remaja dalam kelompok Yazidi itu, Samar dan Zena – bukan nama sebenarnya.

Ummu Hudaifa mengaku mereka hanya tinggal di rumahnya di Raqqa selama beberapa hari sebelum dipindahkan.

Namun kemudian keluarga tersebut pindah ke Mosul dan Samar muncul kembali, tinggal bersama mereka selama sekitar dua bulan.

Saya melacak ayah Samar, Hamid, yang sambil menangis mengenang saat anaknya diculik.

Dia mengatakan dia memiliki dua istri dan mereka, bersama dengan 26 anaknya, dua saudara laki-laki dan keluarganya, semuanya diculik dari kota Khansour di Sinjar. Dia melarikan diri ke pegunungan terdekat.

Enam anaknya, termasuk Samar, masih hilang. Beberapa dari mereka kembali setelah uang tebusan dibayarkan dan yang lainnya pulang setelah wilayah tempat mereka ditahan dibebaskan.

Gadis lainnya, Zena, adalah keponakannya dan diperkirakan terjebak di Suriah utara.

Adik Zena, Soad, tidak bertemu langsung dengan Ummu Hudaifa, melainkan diperbudak, diperkosa, dan dijual sebanyak tujuh kali.

Sebelum hukuman mati diumumkan, Hamid dan Soad mengajukan gugatan perdata terpisah terhadap Umm Hudaifa karena berkolusi dalam penculikan dan perbudakan gadis Yazidi. Mereka tidak percaya bahwa dia adalah korban yang tidak berdaya dan menyerukan agar dia hukuman mati.

“Dia bertanggung jawab atas segalanya. Dia yang memilih - yang ini untuk melayaninya, yang itu untuk melayani suaminya... dan saudara perempuan saya adalah salah satu dari gadis-gadis itu,” kata Soad.

Hal itu berdasarkan kesaksian korban lain yang telah kembali ke rumah.

“Dia adalah istri penjahat Abu Bakr al-Baghdadi, dan dia juga penjahat seperti dia.”

Kami memutar rekaman wawancara kami dengan Soad dan dia berkata: “Saya tidak menyangkal bahwa suami saya adalah seorang penjahat,” namun menambahkan bahwa dia “sangat menyesal atas apa yang terjadi pada mereka”, dan menyangkal tuduhan yang ditujukan padanya. .

Umm Hudaifa mengatakan tak lama kemudian, pada Januari 2015, dia bertemu sejenak dengan pekerja bantuan AS yang diculik, Kayla Mueller, yang disandera selama 18 bulan dan meninggal di lokasi penyanderaan.

Apa penyebab kematian Kayla masih belum diketahui - ISIS saat itu mengeklaim bahwa dia terbunuh dalam serangan udara Yordania, namun AS selalu membantahnya. Sumber keamanan Irak kini memberi tahu kami bahwa dia dibunuh oleh ISIS.

Pada 2019, pasukan AS menggerebek tempat persembunyian al-Baghdadi dan beberapa anggotra keluarganya di barat laut Suriah.

Baghdadi meledakkan diri dengan bom yang ada dirompinya ketika tersudut di terowongan. Dia tewas bersama dua anaknya, sementara dua dari empat istrinya tewas dalam baku tembak.

Namun Umm Hudaifa tidak ada di sana - dia tinggal di Turki dengan nama palsu dan ditangkap pada 2018.

Dia dikirim kembali ke Irak pada Februari tahun ini, tempat dia ditahan di penjara sementara pihak berwenang menyelidiki perannya dalam ISIS.

Putri sulungnya, Umaima, berada di penjara bersamanya, sementara Fatima, yang berusia sekitar 12 tahun, berada di pusat penahanan remaja.

Salah satu putranya tewas dalam serangan udara Rusia di Suriah dekat Homs, yang lainnya meninggal bersama ayahnya di terowongan, dan anak bungsunya berada di panti asuhan.

Ketika kami selesai wawancara, dia mengangkat kepalanya dan saya melihat sekilas wajahnya, tapi ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa.

Saat petugas intelijen membawanya pergi, dia memohon lebih banyak informasi tentang anak bungsunya.

Dan kini, di selnya, dia akhirnya menerima vonis bersalah dari pengadilan dan harus menunggu untuk mengetahui kapan hukumannya akan dilaksanakan.

Artikel ini diperbarui pada 11 Juli 2024 setelah Umm Hudaifa divonis hukuman mati.

!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0){var t=e.createElement(n);t.async=1,t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a.insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,"script","https://news.files.bbci.co.uk/ws/partner-analytics/js/fullTracker.min.js","s_bbcws");s_bbcws('syndSource','ISAPI');s_bbcws('orgUnit','ws');s_bbcws('platform','partner');s_bbcws('partner','tribunnews.com');s_bbcws('producer','indonesian');s_bbcws('language','id');s_bbcws('setStory', {'origin': 'optimo','guid': 'c4nn0rr534ro','assetType': 'article','pageCounter': 'indonesia.articles.c4nn0rr534ro.page','title': 'Janda pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi divonis hukuman mati','author': 'Feras Kilani - BBC Arab','published': '2024-06-11T01:49:02.043Z','updated': '2024-07-11T03:46:09.475Z'});s_bbcws('track','pageView');

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini