Pemimpin Yahudi Haredi Perintahkan Siswa Yeshiva Tidak Sama Sekali Ikut Wajib Militer IDF
TRIBUNNEWS.COM - Rabbi Dov Lando, pemimpin tertinggi Yahudi ultra-Ortodoks Ashkenazi di Israel, menyatakan kalau mahasiswa yeshiva “tidak boleh datang ke kantor wajib militer (IDF) sama sekali.”
Perintah Lando ini menjadi berita utama di halaman depan surat kabar Yated Ne’eman edisi hari ini, Kamis (11/7/2024).
Media ini berafiliasi dengan faksi non-Hasidik Degel Hatorah dari United Torah Yudaism, mitra koalisi utama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Baca juga: Divisi David, 40 Ribu Prajurit Baru Tentara Israel Buat Perang Multi-Front di Tengah Krisis Personel
“Situasi saat ini adalah pengadilan telah menyatakan perang terhadap dunia Taurat, dan merekalah yang membuka front dan mengubah pengaturan yang telah ada selama bertahun-tahun, memerintahkan tentara untuk memulai proses perekrutan anggota yeshiva. ,” tulis rabi tersebut, mengacu pada keputusan Pengadilan Tinggi Israel baru-baru ini dikutip dari Times of Israel.
Ia menambahkan, “Karena tangan tentara dirantai besi oleh para hakim, dan setiap kepatuhan terhadap keputusan pengadilan berarti menyerah dalam perang melawan Tuhan dan Taurat-Nya, oleh karena itu anggota yeshiva diinstruksikan untuk tidak hadir di kantor wajib militer di semua atau menjawab panggilan apa pun.”
Lando menutup seruannya dengan mengatakan bahwa dia menandatangani perintah tersebut “dengan rasa khawatir dan kecemasan tinggi.”
Wajib Militer Haredi DIberlakukan Mulai Bulan Depan
Terkait perintah wajib militer terhadap kaum Yahudi ultra-ortodoks Israel ini,
Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengumumkan bahwa perekrutan orang-orang Yahudi Haredi sebagai tentara cadangan akan dimulai paling cepat pada bulan depan.
"Militer Israel akan mulai merekrut orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks mulai Agustus mendatang," katanya, dikutip dari Anadolu Anjansi.
Kemudian soal aturan perancangan undang-undang tentang perekrutan ini juga akan dirilis bulan depan.
“Gallant menyetujui rekomendasi tentara untuk mengeluarkan rancangan perintah kepada anggota komunitas Haredi bulan depan,” kata pernyataan itu.
Dalam pernyataan Kementerian Pertahanan tidak menyebutkan jumlah orang-orang Yahudi Haredi yang akan direkrut.
Namun, surat kabar The Jerusalem Post mengatakan sekitar 3.000 orang Yahudi Haredi akan direkrut sebagai tentara cadangan Israel.
"3.000 orang tersebut berasal dari kelas yang beranggotakan sekitar 10.000–12.000 orang per tahun akademik, dengan lebih dari 60.000 Haredi berpotensi ikut serta dalam beberapa tahun akademik,” kata surat kabar tersebut.
Sementara surat kabar Israel, Israel Hayom, merinci bahwa separuh dari rekrutan ini akan berusia antara 18 dan 21 tahun.
Kemudian. 40 persen dari perekrutan ini diperkiraan berusia antara 21 dan 24 tahun.
Sisanya, 10 persen berusia antara 24 dan 26 tahun, dikutip dari Al Mayadeen.
Pada akhir Juni, Mahkamah Agung Israel dengan suara bulat menyetujui wajib militer bagi kaum Yahudi Haredi ke dalam militer.
Apabila lembaga-lembaga tidak menyetujui keputusan tersebut, semua subsidi akan dihentikan.
Baca juga: IDF Kehabisan Prajurit, Israel Umumkan Tanggal Dimulainya Wajib Militer Bagi Kaum Yahudi Haredi
"Penegakan hukum selektif yang tidak sah, yang merupakan pelanggaran serius terhadap supremasi hukum, dan prinsip yang menyatakan bahwa semua individu sama di hadapan hukum," tegas Mahkamah Agung Israel.
Karen banyaknya tentara yang tewas di medan perang dan Israel membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, kabinet perang membahas perpanjangan dinas militer.
Berdasarkan keputusan kabinet perang Israel, wajib militer bagi tentara menjadi 3 tahun.
Yahudi Haredi, yang mencakup sekitar 13 persen dari populasi Israel yang berjumlah sekitar 9,9 juta jiwa, tidak bertugas di militer, dengan alasan komitmen untuk mempelajari kitab suci Yudaisme.
Hukum Israel mengharuskan setiap warga negara Israel yang berusia di atas 18 tahun untuk bertugas di militer selama ini.
Namun ada pengecualian Haredi dari dinas telah menjadi masalah kontroversial selama beberapa dekade.
Konflik Palestina vs Israel
Israel telah melancarkan serangan mematikan di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Israel juga mengabaikan resolusi DK PBB yang menuntut gencatan senjata dan tetap melancarkan serangan brutal.
Hampir 38.200 warga Palestina telah terbunuh akibat serangan Israel.
Sebagian besar korban merupakan wanita dan anak-anak.
Serangan Israel juga telah mengakibatkan lebih dari 88.000 warga Palestina terluka.
Sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat agresi Israel selama sembilan bulan.
(oln/toi/khbrn/*)