Peningkatan kehadiran militer merupakan upaya terbaru AS untuk mencegah serangan terhadap Israel dan menghindari perang regional.
Namun hal ini terjadi di saat yang menegangkan. Perang kontroversial Israel di Gaza akan segera memasuki bulan ke-11, di tengah kekhawatiran yang terus berlanjut akan terjadinya genosida dan kelaparan di wilayah Palestina.
Pemerintahan Biden telah mengisyaratkan dukungan penuh bagi Israel jika terjadi perang yang lebih luas. Meskipun mengkritik penderitaan warga sipil di Gaza, pejabat AS sejauh ini menolak untuk secara terbuka menekan Israel agar mengakhiri perang di Gaza.
Namun, Biden membahas konsekuensi pembunuhan tersebut pada hari Jumat, menggambarkannya sebagai kemunduran pada perundingan gencatan senjata yang sedang berlangsung.
“Itu tidak membantu,” katanya dalam pernyataan singkat kepada wartawan.
Pengumuman Pentagon ini muncul kurang dari tiga hari setelah kepala politik Hamas Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran.
Ia merupakan salah satu negosiator utama dalam upaya mengamankan gencatan senjata, dan kematiannya dipandang sebagai kemunduran serius bagi negosiasi.
Haniyeh berada di Iran untuk menghadiri upacara pelantikan presiden baru negara itu.
Laporan menunjukkan sebuah alat peledak telah ditanam di kediaman tempat ia menginap.
Sehari sebelum kematian Haniyeh, pada tanggal 30 Juli, Fuad Shukr — seorang komandan kelompok kuat Hizbullah yang berbasis di Lebanon — juga tewas dalam serangan Israel di Beirut.
Angkatan Udara Israel mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Hizbullah, kelompok yang didukung Iran, telah saling tembak dengan Israel di perbatasan Lebanon sejak perang di Gaza dimulai pada bulan Oktober.
Meskipun demikian, pemerintahan Biden telah menyatakan harapan bahwa ketegangan masih dapat diturunkan.
"Saya tidak menganggap perang sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Saya tetap berpendapat demikian. Saya pikir selalu ada ruang dan peluang untuk diplomasi," kata Austin awal minggu ini.
Kapal Perusak Ikut Diturunkan