News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Tegaskan Ogah Minta Maaf karena Kritik Israel, Rektor di Skotlandia Cuek Dipecat dari Posisi Penting

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu - Rektor di Skotlandia dicopot dari Pengadilan Kampus setelah mengkritik Israel atas serangan di Jalur Gaza.

TRIBUNNEWS.com - Rektor Universitas St Andrews di Skotlandia, Stella Maris, dipecat dari badan pengadilan universitas setelah melayangkan kritik terhadap serangan Israel di Jalur Gaza.

Kritik yang disampaikan Maris pada November 2023 lalu, juga menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, media lokal melaporkan, dikutip Anadolu Ajansi.

Dalam pernyataannya, Maris mengatakan Palestina telah menjadi sasaran "praktik seperti apartheid, pengepungan, dan pendudukan ilegal."

Pemecatannya dilakukan menyusul penyelidikan atas seruan Maris, apakah "sesuai tanggung jawab dan standar yang dibebankan kepadanya" dalam perannya sebagai rektor.

Maris mengaku kecewa atas pemecatan tersebut. Meski demikian, ia memastikan dirinya tak ambil pusing.

Ia juga menegaskan tak akan meminta maaf atas pernyataannya yang mengkritik Israel.

"Jelas saya dikeluarkan dari pengadilan universitas karena saya menyerukan diakhirinya kejahatan perang Israel terhadap Palestina," katanya.

"Saya tidak akan meminta maaf atas tindakan saya (mengkritik Israel)," tegas Maris.

Anggota senior dan ketua pengadilan universitas, Ray Perman, mengatakan keputusan memecat Maris tidak akan memengaruhi kebebasan berbicara perempuan tersebut.

"Itu adalah haknya (menyuarakan pendapat)," ujar Perman.

Diketahui, pada November 2023, Maris mengirim email kepada para mahasiswa Universitas St Andrews.

Baca juga: Ancaman Al-Qassam pada Netanyahu Sehari setelah Haniyeh Tewas: Kemenangan Israel Hanya Ilusi

Dalam email itu, ia membagikan "perspektif dan pemahaman peribadinya mengenai konflik Israel-Palestina secara langsung kepada mahasiswa yang memilih saya."

Dilansir Palestine Chronicle, ia mendesak para mahasiswa "untuk mencari informasi terbaru dan melakukan uji tuntas sebelum mengambil tindakan apapun berdasarkan isi email ini."

"Kita harus terus mengakui dan mengutuk tindakan-tindakan yang secara internasional dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan dan perang."

"Ini (kejahatan Israel) termasuk praktik-praktik seperti apartheid, pengepungan, dan pendudukan olehal, serta hukuman kolektif, terhadap warga Palestina," urai Maris di emailnya.

Israel saat ini tengah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang berkelanjutan di Gaza sejak 7 Oktober 2023.

Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB, terus menyerang semua wilayah di Gaza yang menyebabkan hampir dari 39.500 warha Palestina tewas.

Sebagian besar korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.

Potensi Eskalasi di Timur Tengah

Sementara itu, potensi eskalasi di Timur Tengah diprediksi akan memanas setelah Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh dalam serangan di Teheran, Iran, Rabu (31/7/2024).

Menurut para analis, eskalasi lebih lanjut dalam ketegangan regional tidak dapat diabaikan pasca-tewasnya Haniyeh.

Baca juga: Penampakan Lokasi Ismail Haniyeh Dibunuh, Disebut Dilindungi Korps Garda Revolusi Iran

Peneliti di Pusat Studi Strategis Timur Tengah di Teheran, Abas Aslani, mengatakan peristiwa tewasnya Haniyeh akan bergema di seluruh kawasan dan sekitarnya.

"Saat ini, saat kita berbicara, eskalasi tampaknya tak terelakkan," kata Aslani, dikutip dari Al Jazeera.

Ia menambahkan pembunuhan itu terjadi tepat saat Presiden baru Iran, Masaoud Pezeshkian, berbicara tentang dialog dan keterlibatan dengan Barat.

"Kita mungkin mengucapkan selamat tinggal untuk saat ini pada gencatan senjata. Sebab, tewasnya Haniyeh bisa meningkat menjadi perang regional."

"PM Israel berusaha melakukan segalanya untuk memperpanjang kehidupan politiknya. Dia ingin melanjutkan perang (di Gaza), dan saya pikir ini dimaksudkan tidak hanya untuk memengaruhi proses di Teheran dan kawasan itu, tetapi juga di Washington," jelas Aslani.

Potensi itu dinilai semakin meningkat setelah Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bersumpah akan balas dendam pada Israel atas kematian Haniyeh.

Ia menjanjikan "hukuman keras" bagi Israel sebagai balasan.

"Rezim Zionis kriminal dan teroris telah membunuh tamu kami yag terkasih di rumah kami (Iran) dan membuat kami berduka," kata Khamenei dalam sebuah pernyataan, Rabu.

Ia menambahkan, "rezim Zionis juga menyiapkan dasar untuk hukuman keras bagi dirinya sendiri."

Khamenei juga menegaskan, adalah tugas Iran untuk membalas pembunuhan Haniyeh.

"Kami menganggap bahwa adalah tugas kami untuk membalas darahnya (tewasnya Haniyeh) dalam insiden pahit dan sulit yang terjadi di wilayah Republik Islam ini," kata Khamenei, seraya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Haniyeh dan kelompok Palestina.

Sebagai informasi, Haniyeh tewas diserang di Teheran, Rabu dini hari, dalam perjalanannya menghadiri pelantikan Presiden baru Iran, Masaoud Pezeshkian.

Selain Haniyeh, pengawal pribadinya yang juga Wakil Komandan Brigade Al-Qassam, Wasim Abu Shaaban, juga tewas dalam serangan itu.

Insiden itu terjadi sehari setelah pelantikan Pezeshkian, yang juga menjadi kemunculan terakhir Haniyeh sebelum tewas.

Jenazah Haniyeh akan dimakamkan di Qatar, Jumat (2/8/2024).

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini