TRIBUNNEWS.com - Pengamat membeberkan dua kemungkinan skenario serangan Iran terhadap Israel minggu ini.
Pensiunan Perwira Militer yang sebelumnya menjabat Direktur Kebijakan untuk Komite Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (AS), Laksamana Muda Mark Montgomery, mengungkapkan skenario pertama.
Ia memprediksi Iran tidak akan mengulangi serangan serupa terhadap Israel, seperti pada 13 April 2024 lalu.
Diketahui, dalam operasi Iran saat itu, Teheran mengandalkan drone dan beberapa serangan rudal, di mana beberapa di antaranya berhasil dihalau AS.
"Angkatan Udara AS bisa menghalau kawanan (drone dan rudal ) itu, sebelum mereka mencapai wilayah udara Yordania," kata Montgomery, Senin (5/8/2024), dikutip dari Politico.
Menurut Montgomery, Iran diduga akan menggunakan rudal balistik jarak menengah dan rudal jelajah saat menyerang Israel.
Lalu, skenario kedua adalah serangan yang sebagian besar melibatkan rentetan rudal dari proksi di Lebanon, Suriah, dan Irak.
Pemimpin Kebijakan Luar Negeri di Institut Yahudi untuk Keamanan Nasional Amerika, Jonathan Ruhe, mengatakan serangan semacam itu akan dirancang Iran untuk membanjiri pertahanan Israel dan memberi militer Israel sedikit waktu untuk merespons.
"Kali ini, Iran sedang mencoba mencari cara untuk memakai sejumlah biaya aktual dan riil terhadap Israel."
"Hal ini dilakukan untuk memaksa Israel berhenti menyerang target-target Hizbullah atau hal-hal seperti menyerang Haniyeh di Teheran," jelas Ruhe.
Teheran tidak banyak mengungkap apa hukuman yang akan mereka berikan untuk Israel.
Baca juga: Aktivis Pro-Palestina di Jepang Balas Turis Israel yang Ngamuk-ngamuk: Negaramu Palsu!
Tetapi, Ruhe mencatat, sinyal Teheran pada April 2023 lalu, memberi Israel cukup waktu untuk merespons dan berpendapat, Iran tidak akan melakukan kesalahan dua kali.
Diketahui, AS menyuarakan keyakinannya, Israel akan mampu menangkis apapun serangan Iran dalam beberapa hari mendatang.
"Amerika dan mitra serta sekutu lainnya berkumpul untuk membantu Israel mempertahankan diri dan mengalahkan ancaman itu," ungkap Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS, Jon Finer.