TRIBUNNEWS.com - Iran disebut menunda serangan balas dendamnya terhadap Israel pasca-tewasnya Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh.
Informasi terakhir, menurut laporan Al Arabiya, pembalasan apapun oleh Iran kepada Israel mungkin ditunda.
Iran diyakini menunggu hasil pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi.
Menteri Luar Negeri Iran, Ali Bagheri-Kani, diketahui hadir dalam pertemuan luar biasa Komite Eksekutif Menteri Luar Negeri OKI.
Pertemuan tersebut membahas dampak pembunuhan Haniyeh di Teheran pada 31 Juli 2024 lalu.
Kani meminta negara-negara Muslim untuk mendukung hak Iran dalam membela diri terhadap insiden Haniyeh yang disebutnya sebagai "tindakan agresi".
Arab Saudi mendukung posisi Iran, mengatakan pembunuhan Haniyeh merupakan "pelanggaran terang-terangan" terhadap kedaulatan Iran.
Iran diketahui menyalahkan Amerika Serikat (AS) dan Israel atas tewasnya Haniyeh, serta bersumpah untuk "membalas dendam".
Namun, penundaan serangan balas dendam Iran memunculkan pertanyaan.
Pejabat Gedung Putih pada Selasa (6/8/2024), mengatakan yakin pada upaya Joe Biden untuk mencegah perang di Timur Tengah "mungkin membuahkan hasil" dan "Iran mungkin mempertimbangkan kembali rencana balas dendamnya", menurut Washington Post.
"Respons Iran menjadi rumit karena adanya kebingungan atas penyebab kematian Haniyeh. Teheran pada awalnya mengklaim Haniyeh terbunuh oleh rudal Israel."
Baca juga: 2 Sosok yang Bantu Israel Bunuh Haniyeh Ternyata Anggota IRGC, Langsung Dievakuasi Mossad dari Iran
"Namun, para pejabat mengatakan Teheran telah menyimpulkan secara pribadi bahwa Haniyeh justru terbunuh oleh bom tersembunyi, yang mungkin memicu respons yang berbeda," demikian bunyi artikel tersebut.
Teheran mungkin juga akan terpengaruh oleh unjuk kekuatan AS minggu ini, serta adanya komunikasi rahasia Gedung Putih yang disampaikan melalui kedutaan Swiss di Teheran dan misi Iran di PBB, kata laporan itu.
"Iran memahami dengan jelas bahwa AS tidak goyah dalam membela kepentingan, mitra, dan rakyat kami (merujuk pada hubungan AS dan Israel)."