Seperti yang ia katakan, bidang yang digeluti atlet putri Korea Utara bisa dibilang terbatas, antara lain tinju, gulat, angkat besi, serta atletik.
Atlet perempuan yang diperlakukan sebagai "pahlawan olahraga" di Korea Utara antara lain Shin Geum-dan, yang mencetak rekor dunia dan memenangkan emas di Kejuaraan Atletik Internasional di Moskow, Rusia pada 1960-an.
Kemudian ada Kye Sun-hui yang meraih medali emas di Olimpiade Atlanta 1966 setelah mengalahkan atlet judo Jepang Ryoko Tamura dan Jeong Seok-ok pemenang maraton putri pada Kejuaraan Atletik Dunia ke-7 di Seville, Spanyol pada 1999.
Meningkatkan status perempuan?
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Kim Jong Un menekankan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat, serta mendorong olahraga.
Artinya, seluruh kebijakan terhadap perempuan telah berubah sejak Kom Jong-un berkuasa.
Sejak mengambil alih kekuasaan, Kim Jong Un telah mendorong kemajuan perempuan dalam masyarakat dengan menetapkan 8 Maret yang merupakan Hari Perempuan Internasional dan 16 November Hari Ibu -sebagai hari libur nasional.
Kehadiran perempuan juga meningkat di acara-acara resmi, termasuk putri Kim Ju-ae, saudara perempuannya yakni Kim Yo-jong dan menteri Luar Negeri Choe Son-hui.
Faktanya, Institut Studi Unifikasi Korea, sebuah lembaga penelitian yang didanai pemerintah menyatakan dalam "Buku Putih Hak Asasi Manusia Korea Utara 2023" yang dirilis akhir tahun lalu bahwa kemajuan sosial perempuan telah meningkat di bawah rezim Kim Jong Un.
Namun laporan ini juga menyatakan bahwa "peran gender dan diskriminasi tetap ada di masyarakat" dan "khususnya kesadaran akan diskriminasi gender serta kekerasan dalam rumah tangga masih terjadi di pedesaaan dibandingkan di kota".
Profesor Huh berkata, "memang benar Korea Utara adalah masyarakat yang patriarki, tetapi tidak ada diskriminasi institusional terhadap perempuan di pekerjaan, sekolah, atau aktivitas lainnya," dan "itulah sebabnya olahraga bagi perempuan tidak pernah dilarang".
Dia menambahkan bahwa penekanan Kim Jong Un pada perempuan merupakan upaya untuk tampil sebagai negara normal lainnya.
"Saat ini generasi muda di Korea Utara yang berusia akhir belasan dan awal dua puluhan, disebut generasi MZ merupakan generasi yang orang tuanya sebagian besar memiliki aktivitas ekonomi di pasar. Generasi ini secara alami mengamati dan belajar dari pengalaman orang tua mereka serta menyadari bahwa sosialisme Korea Utara bukanlah sebuah utopia."
Penjelasannya bahwa setelah periode Harduous March pada pertengahan tahun 1990-an banyak perempuan datang ke pasar untuk melakukan kegiatan ekonomi menggantikan suami mereka, dan dalam prosesnya kepercayaan terhadap sistem distribusi sosialis menurun drastis.