TRIBUNNEWS.COM - Korban pengeboman Israel di sekolah Gaza menceritakan detik-detik ketika eskalasi akhir pekan itu terjadi.
Pada Sabtu (10/8/2024) dini hari, Sajida al-Kafarna yang berusia 24 tahun sedang tidur bersama keluarganya di dalam ruang kelas sekolah.
Mereka terbangun ketika ledakan besar terjadi.
“Kami saling meyakinkan bahwa kami baik-baik saja, tetapi ketika saya melihat tempat ayah saya kosong, kepanikan pun muncul karena ia telah pergi salat subuh,” kenang Sajida, dilansir Al Jazeera.
Keluarga Sajida termasuk di antara sekitar 2.400 pengungsi Palestina yang berlindung di Sekolah al-Tabin.
Ayahnya, Abdul Aziz al-Kafarna yang berusia 58 tahun, berada di dalam masjid kecil sekolah tersebut ketika Israel mengebom gedung tersebut.
Sajida terdiam, menahan isak tangisnya.
“Ibu saya, saudara-saudara saya, dan saya semua bergegas mencarinya. Sekolah terbakar, dan semua orang berteriak histeris,” tuturnya, saat berbicara kepada Al Jazeera melalui telepon dari distrik Daraj di pusat Kota Gaza.
Sajida menggambarkan pemandangan mengerikan saat dia dengan panik mencari ayahnya di antara korban tewas.
“Satu orang masih terbakar, berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Dia terbakar di depan kami, dan tidak ada yang bisa menolong,” kenang Sajida dengan suara gemetar.
“Kami berusaha memadamkan api, lalu kami menggunakan senter ponsel untuk mencari ayah saya karena hari masih gelap.”
100 Orang Tewas
Baca juga: PIJ-Fatah Kecam Israel usai Hujani Roket ke Gedung Sekolah Tewaskan Ratusan Orang yang Sedang Salat
Serangan Israel terhadap Sekolah al-Tabin menewaskan lebih dari 100 warga Palestina, termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua.
Israel mengatakan pihaknya menyerang "pusat komando dan kendali" Hamas dan pejuang Jihad Islam Palestina. Hamas telah menolak klaim tersebut.
Sudah berulang kali Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyerang sekolah-sekolah di Gaza tempat orang-orang berlindung.
IDF dengan klaim bahwa sekolah-sekolah tersebut merupakan pusat operasi Hamas, kelompok yang memerintah Gaza, untuk menyembunyikan para pejuang dan senjata.
Hamas membantah beroperasi dari fasilitas sipil.
Israel diketahui meningkatkan serangan saat perundingan gencatan senjata berlangsung sebagai taktik tekanan.
Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar telah meminta Israel dan Hamas untuk melanjutkan perundingan perdamaian pada tanggal 15 Agustus.
Tanpa memberikan bukti apa pun, Israel mengklaim 19 pejuang tewas dalam serangan mematikan itu. Kemarin, jumlah itu direvisi menjadi 31.
Penyelidikan oleh lembaga verifikasi Sanad Al Jazeera menemukan bahwa Israel menargetkan dan membunuh warga sipil dengan mengirim bom presisi ke aula salat yang menampung keluarga dan kapel pria di bawahnya saat salat subuh dimulai.
"Israel menggunakan bom GBU-39 SDB buatan AS dalam serangannya, yang sengaja diatur waktunya untuk menimbulkan korban sebanyak-banyaknya," kata penyelidikan tersebut.
Organisasi nirlaba Euro-Med Human Rights Monitor mengatakan penyelidikan awal tidak menunjukkan bukti adanya operasi militer di sekolah tersebut.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)