TRIBUNNEWS.com - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengajukan empat syarat terkait kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Diketahui, pembicaraan negosiasi gencatan senjata kembali berlanjut pada Kamis (15/8/2024), di Qatar.
Namun, kesepakatan itu terancam gagal setelah Netanyahu mengajukan empat syarat.
Kondisi yang diajukan Netanyahu itu dianggap penting bagi Israel, tapi ditentang Hamas dan faksi Palestina lainnya.
Dikutip dari Anadolu Ajansi, syarat pertama yang diajukan Netanyahu adalah perlunya mekanisme untuk mencegah warga Palestina bersenjata menyeberangi Poros Netzarim dari Gaza tengah ke utara.
Terkait hal itu, para negosiator Israel sebelumnya sudah mengatakan kepada media Israel, syarat itu bisa saja mempersulit tercapainya kesepakatan.
Syarat kedua adalah agar Israel mempertahankan kendali atas Koridor Philadelphia (poros Salah al-Din) dan perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir.
Sebagai informasi, wilayah tersebut sudah berada di bawah kendali Israel sejak Mei 2024.
Syarat ketiga yang diajukan Netanyahu menyangkut mengetahui jumlah tahanan Israel di Gaza yang masih hidup.
Tahanan Israel yang masih hidup itu nantinya akan ditukar dengan tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Diketahui, Israel menahan sedikitnya 9.500 warga Palestina, sedangkan Hamas mengklaim ada sekitar 115 tahanan Israel di Gaza.
Baca juga: 4.000 Kematian per Bulan di Gaza, Media Israel: Perang Paling Berdarah Abad ke-21
Sekitar 70 dari 115 tahanan di Gaza tewas akibat serangan udara yang dilancarkan Israel.
Kesepakatan pertukaran sandera yang diusulkan akan melibatkan pembebasan sejumlah kecil warga Israel "hidup atau mati".
Tetapi, Netanyahu bersikeras fokus pada pembebasan sebagian besar tahanan yang masih hidup.
Ia juga ingin Israel lebih dulu menerima daftar nama tahanan di Gaza.
Lalu, syarat keempat adalah, "Israel tetap memiliki hak untuk menolak pembebasan tahanan Palestina tertentu yang diinginkan Hamas dan mendeportasi tahanan yang dibebaskan ke luar Palestina."
Syarat terakhir itu mendapat penolakan keras dari Hamas.
Sebagai informasi, pembicaraan negosiasi gencatan senjata dan pertukaran sandera di Qatar pada Kamis, mempertemukan perwakilan tingkat tinggi, termasuk Kepala Intelijen Amerika Serikat (AS) dan Mesir, serta pejabat Israel yang dipimpin Kepala Mossad, David Barnea.
Sehari sebelumnya, Rabu (14/8/2024), Hamas mengatakan pihaknya akan bergabung dalam perundingan jika mendapat komitmen yang jelas dari Israel mengenai pelaksanaan proposal yang didukung Presiden AS, Joe Biden.
Pada Mei 2024 lalu, Biden mengatakan Israel mengajukan kesepakatan tiga tahap yang akan mengakhiri serangan di Gaza dan menjamin pembebasan sandera yang ditahan di Gaza.
Baca juga: 5 Rabi Yahudi Israel Kecam Aksi Ben-Gvir ke Kompleks Masjid Al-Aqsa: Dia Tak Mewakili Pandangan Kami
Rencana tersebut mencakup gencatan senjata, pertukaran sandera-tahanan, dan pembangunan kembali Gaza.
Hamas Berpegang Teguh pada Dokumen 2 Juli
Terpisah, Hamas memastikan akan berpartisipasi dalam pembicaraan negosiasi hanya jika Israel menyetujui dokumen tertanggal 2 Juli 2023.
Dokumen itu membahas mengenai gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan, kata Pejabat Senior Hamas, Osama Hamdan, kepada Al Mayadeen, Kamis.
Hamdan menegaskan, dokumen 2 Juli itu sepenuhnya membahas gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Ia menambahkan, gerakan Palestina mengeluarkan pernyataan yang jelas mengenai pembicaraan di Qatar berdasarkan proses negosiasi pada Kamis.
Ia juga menyebut Hamas menyetujui semua poin positif dalam usulan mediator, tapi Israel terus melakukan pembantaian.
Hamdan menjelaskan, pesan inti dari gerakan tersebut adalah Hamas tidak mau memberi Israel lebih banyak waktu untuk melakukan pembantaian.
Ia juga menambahkan, tujuan utama Hamas adalah untuk menghentikan agresi yang sedang berlangsung di Gaza.
Serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, sebagian besar anak-anak dan perempuan.
Sementara, 92.400 lainnya terluka dan 10.000 masih hilang di bawah reruntuhan.
Lebih dari 10 bulan sejak serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza masih hancur di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang memerintahkannya untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diserang pada 6 Mei.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)