TRIBUNNEWS.COM, ISRAEL - Tel Aviv, Ibu Kota Israel, kini bak kota mati.
Kota yang biasanya ramai berubah menjadi sangat sepi saat ini.
Penyebabnya, penduduk dan pemilik bisnis bergulat dengan ketakutan dan ketidakpastian karena ancaman pembalasan serangan dari militer Iran.
Tel Aviv-Yafo, yang dikenal di seluruh dunia sebagai pusat bisnis, perdagangan, dan hiburan Israel yang ramai, biasanya merupakan kota yang penuh kehidupan.
Dikutip dari Jerusalem Post, Jumat (16/8/2024), jalanan biasanya dipenuhi pembeli, pantai-pantainya dipenuhi orang-orang yang berjemur, dan malam hari dipenuhi dengan pesta dan acara.
Turis berbondong-bondong ke pasar, kafe, dan tempat-tempat budaya yang menjadikan kota ini tujuan utama para pelancong.
Namun akhir-akhir ini, gambaran yang berbeda muncul.
Jalanan tampak sepi, toko-toko tutup lebih awal dan suasana sunyi menggantikan hiruk pikuk yang biasa.
Ketakutan merayapi atmosfer dan ketegangan mencemaskan menyelimuti kota.
Bagi warga dan pemilik bisnis, perubahan ini nyata adanya.
Yana Levitan, pemilik Alternative Souvenir, sebuah toko di kota tua Yafo, berbagi perasaannya dengan The Media Line.
“Saya merasakan dari jalan bahwa orang-orang khawatir berada di sini , berada di Israel. Orang-orang Israel khawatir berada di kota tua Yafo khususnya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi kami akan tetap di sini meskipun ada banyak hal,” katanya.
Ancaman pembalasan dari Iran semakin memperdalam krisis.
Dampaknya ke Perekonomian Israel
Sadi, seorang sopir taksi Arab Israel, menggambarkan situasi tersebut kepada The Media Line.
“Orang-orang tidak ingin datang ke Timur Tengah saat ini. Mereka tidak merasa aman. Saya belum pernah melihat sesuatu yang seburuk ini sebelumnya. Kami hampir tidak bisa bertahan hidup.”
Namun meskipun ada ketakutan dan ketidakpastian, semangat ketahanan tetap kuat.
Yoel, warga Tel Aviv, mengatakan kepada The Media Line.
“Ada ketakutan tetapi orang-orang Israel tangguh, kami berada di luar dan kami tidak berhenti hidup.”
Mahmoud, seorang warga Palestina dari Yerusalem yang sedang mengunjungi Yafo, mengungkapkan harapannya akan perdamaian.
“Ketika perang berakhir, semuanya mungkin akan kembali normal.”
Yoav, seorang warga Kiryat Shmona, yang tinggal sementara di Yafo, menyuarakan sentimen yang sama, dengan menceritakan bagaimana perang telah berdampak pada komunitas Yahudi dan Arab.
“Kita dapat hidup bersama dengan mudah tanpa masalah politik apa pun. Satu-satunya masalah adalah masalah radikal di kedua belah pihak. Tanpa masalah itu, kita akan hidup lebih baik.”
Bahkan saat kota itu bergulat dengan dampak perang, penduduk Tel Aviv terus maju.
Turis seperti Michael dan Kyara dari Prancis menggambarkan gambaran rumit Tel Aviv selama masa perang—di mana kehidupan terasa familier sekaligus kacau.
Meskipun mereka melihat toko-toko tutup dan jalan-jalan lebih sepi, kunjungan mereka mengungkap kota yang masih bertekad mempertahankan denyut nadinya.
Baik bagi penduduk lokal maupun pengunjung, konflik yang sedang berlangsung telah membuat kehidupan sehari-hari hampir terhenti.
Namun, seperti yang ditelusuri dalam video ini, ketahanan penduduk Tel Aviv tetap tak tergoyahkan dalam menghadapi ketidakpastian, dengan harapan bahwa kota kehidupan ini akan segera kembali ke kehidupannya yang semarak.
IDF Tetap Siaga
Daniel Hagari, Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel, IDF, mengatakan pihaknya tidak mengubah instruksi bagi warga sipil dalam upaya meredakan kekhawatiran publik.
"Kami menanggapi pernyataan dan deklarasi musuh dengan serius. Oleh karena itu, kami siap pada tingkat kesiagaan tertinggi dalam menyerang dan bertahan," kata Hagari.
Siap dengan Serangan Hamas
Warga Israel yang tinggal di selatan juga mengikuti perkembangan situasi dengan Iran dengan saksama.
Oshra Lerer-Shaib dari Ashdod, sebuah kota di pesisir Israel, 35 kilometer di utara Gaza, mengatakan keluarganya telah bersiap sejak serangan Hamas tahun lalu.
"Sejak 7 Oktober, ruang aman kami telah dilengkapi dengan cadangan makanan dan air untuk berjaga-jaga jika kami harus berlindung selama tiga atau empat hari," tuturnya.
Menurut Lerer-Shaib, yang lebih mengkhawatirkan bukan prospek serangan Iran, tetapi kekecewaan terhadap pemerintahan sendiri.
"Saya pernah merasa bahwa hanya jika saya diculik, negara akan melakukan segalanya untuk memulangkan saya kembali," katanya dikutip dari DW.
Selain menyiapkan generator dan makanan serta air untuk berjaga-jaga jika terjadi serangan, Rozner mengatakan keluarganya juga bersiap menghadapi kemungkinan harus meninggalkan rumah mereka di Dataran Tinggi Golan dalam waktu singkat.
Namun persiapan seperti itu tidak terbatas pada situasi saat ini.
"Jika saya harus membuat persiapan khusus setiap kali ada ancaman nyata, saya pasti bangkrut," kata Rozner dengan nada sarkastis.
Ancaman Iran Tak Berhenti
Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, Pemimpin Revolusi Islam, beserta pejabat tinggi Iran sebelumnya telah menegaskan akan mengirim tindakan balasan ke Israel atas pembunuhan Kepala Politbiro Hamas Ismail Haniyeh.
Eks pemimpin Hamas itu diduga dibunuh Israel di Teheran saat menjadi tamu negara Iran.
Negara-negara Barat berusaha membujuk Iran agar tidak menyerang Israel menyusul pembunuhan Haniyeh.
Pada Selasa (13/8/2024), Presiden AS Joe Biden menyebut gencatan senjata di Gaza kemungkinan bisa membuat Iran menangguhkan serangan ke Israel.
Hal tersebut disampaikan Biden ketika berkunjung ke New Orleans.
“Kita akan lihat apa yang dilakukan Iran dan apa yang terjadi jika ada serangan. Tapi saya tidak akan menyerah,” kata Biden.
IDF dalam posisi siaga penuh karena Amerika Serikat (AS) dan Israel memiliki ekspektasi yang sama bahwa Iran dapat melancarkan serangan besar terhadap Israel minggu ini.
"Kami memiliki kekhawatiran dan harapan yang sama dengan rekan-rekan kami di Israel terkait dengan kemungkinan waktu di sini. Bisa jadi minggu ini," kata Juru Bicara Gedung Putih John Kirby kepada wartawan dikutip dari Times of Israel, Selasa (13/8/2024).