TRIBUNNEWS.COM - Dari ribuan warga Yahudi Haredi Ultra-Ortodoks, hanya 70 orang yang dilaporkan mendaftar wajib militer bersama pasukan pertahanan Israel di medan tempur Gaza.
Laporan ini dirilis Kementerian Keamanan dan Pertahanan Israel setelah ribuan warga Haredi Ultra-Ortodoks membangkang, memilih menghindari perintah PM Benjamin Netanyahu untuk melaksanakan wajib militer.
“Militer mengeluarkan 3.000 perintah wajib militer kepada anggota komunitas Haredi dalam tiga gelombang terpisah, namun hanya 70 orang Yahudi Haredi ultra-Ortodoks yang melapor ke kantor perekrutan di al-Quds,” jelas Menteri Keamanan Yoav Gallant, dikutip dari Al Mayadeen.
Penolakan ini dilakukan warga Yahudi Ultra-Ortodoks lantaran mereka menilai keputusan Netanyahu bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Agung Israel.
Di mana pada 2018 silam Mahkamah Agung Israel mengeluarkan aturan untuk mengecualikan warga Ultra-Ortodoks Israel melakukan wajib militer.
Ini karena Ultra-Ortodoks merupakan warga kelas agamawan Israel yang difokuskan khusus urusan agama.
Sehingga Kaum ultra-Ortodoks mengklaim hak mereka hanya untuk belajar di pendidikan khusus agama bukan untuk bertugas di militer atau menjadi pegawai negeri sipil.
Namun imbas Israel dilanda krisis pasukan, Netanyahu merilis aturan baru yang memerintahkan warga Israel dari kelompok Yahudi Ultra-Ortodoks untuk ikut bergabung dengan pasukan militer ke medan perang di Jalur Gaza.
Pernyataan tersebut dilontarkan Netanyahu, menyusul mencuatnya isu yang menyebut bahwa jumlah pasukan Israel di Gaza tengah mengalami krisis.
Lantaran 582 tentara IDF gugur dalam medan pertempuran sementara 30.000 pasukan lainnya dinyatakan gangguan mental akibat perang.
Baca juga: Yahudi Israel Ingin Gulingkan Benjamin Netanyahu, Dianggap Tak Becus Urus Pertukaran Sandera
Krisis pasukan semakin diperparah karena para tentara cadangan dari batalion perang menolak perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melanjutkan invasi melawan Hamas di jalur Gaza.
Serangkaian tekanan ini yang membuat Netanyahu khawatir apabila krisis pasukan di Gaza akan semakin parah.
Warga Ultra-Ortodoks Ancam Tinggalkan Israel
Merespon ramainya desakan wajib militer Kepala Yahudi ultra-Ortodoks, Rabi Sephardic Israel Yitzhak Yosef dan para pengikut mengancam akan meninggalkan negara itu jika mereka dipaksa masuk militer.
“Jika mereka memaksa kami untuk bergabung dengan militer, kami semua akan terbang ke luar negeri, membeli tiket, dan pergi,” ungkap Kepala Rabi Yahudi Sephardic, dikutip dari Anadolu.
Namun tampaknya ancaman itu tak cukup mampu membuat Netanyahu mundur.
Orang terkuat di Israel itu terus memaksa para pria Haredi Ultra-Ortodoks untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan wajib militer.
Ultra-Ortodoks Bentrok dengan Polisi
Gelombang penolakan yang memanas, memaksa pria Haredi Ultra-Ortodoks menggelar demonstrasi besar-besaran di dekat area kantor perekrutan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Yerusalem.
Lebih dari 100 pria Ultra-Ortodoks ekstremis dilaporkan turun ke jalanan untuk berunjuk rasa di dekat kantor perekrutan IDF.
Demo awalnya berjalan dengan damai, sampai akhirnya petugas berkuda datang dengan membawa meriam untuk mencoba membubarkan massa.
Tak lama dari itu warga Ultra-Ortodoks ekstremis terlibat bentrok dengan pihak kepolisian setempat.
Menurut keterangan polisi, bentrok tak hanya dilakukan dengan petugas Polisi Israel, demonstran ultra-Ortodoks juga terlibat bentrok dengan Polisi Perbatasan.
"Mereka yang berdemo melontarkan makian dan berusaha menerobos pagar yang didirikan polisi di luar kantor perekrutan," kata polisi, dikutip dari Jerusalem Post.
Imbas kerusuhan ini, lima demonstran ultra-Ortodoks telah ditangkap atas tuduhan melakukan perilaku tidak tertib dan menyerang petugas polisi di Yerusalem.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)