TRIBUNNEWS.com - Pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di kwasan Deir ez-Zor, Suriah, diserang drone kamikaze, Kamis (29/8/2024).
Sumber lokal mengatakan serangan itu dilakukan kelompok yang didukung Iran di Suriah dan menargetkan pangkalan militer AS di ladang gas Conoco.
Namun, sistem pertahanan udara pangkalan militer AS berhasil mencegah dan menghancurkan drone tersebut, sebelum mencapai target.
Meski demikian, belum ada tanggapan resmi dari AS mengenai insiden ini, dilansir Anadolu Ajansi.
Pada awal Agustus 2024 lalu, sebuah fasilitas militer yang menampung pasukan AS di Hasakah, Suriah timur laut, juga menjadi sasaran serangan drone.
Al Mayadeen mengutip sumber lokal, melaporkan beberapa ledakan terdengar di dalam pngalam it.
Tak ada laporan langsung mengenai korban jiwa atau tingkat kerusakan di lokasi tersebut.
Serangan itu terjadi di tengah meningkatnya bentrokan antara suku-suku Arab dan pasukan separatis Kurdi yang didukung AS di Suriah timur dalam beberapa hari terakhir.
Penduduk, yang terpinggirkan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS yang mengendalikan sumber daya minyak di wilayah tersebut, telah menyerang posisi separatis Kurdi.
Pasukan nomaden di bagian timur Deir ez-Zor telah berhasil memukul mundur milisi separatis Kurdi dan maju ke dekat ladang minyak al-Omar, yang memicu tanggapan dari pasukan AS.
Tak hanya itu, pangkalan AS di dua provinsi Suriah, Hasakah dan Deir ez-Zor, telah menjadi sasaran roket dan drone sejak Oktober 2023 lalu, berbarengan dengan serangan Israel di Gaza.
Baca juga: Israel Tuding Iran Biayai Militan Palestina, Serang Tepi Barat untuk Hancurkan Dukungan Teheran
Sejarah Hubungan Iran-AS
Dilansir Al Jazeera, Iran dan AS memiliki sejarah politik yang berliku selama beberapa dekade.
Sejak lama, Iran menuduh AS mencampuri urusan dalam negerinya.
Pada 1953, Badan Intelijen AS (CIA) dengan bantuan Inggris, mendukung kudeta yang menggulingkan Perdana Menteri (PM) Iran pertama, Mohammad Mossadegh, setelah mencoba menasionalisasi industri minyak di negara itu.
Sebagai informasi, PM Iran pertama tersebut dipilih lewat demokrasi.
Kudeta tersebut membuat Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang didukung negara-negara Barat, kembali memimpin.
Dampaknya, Iran dan AS menjadi sekutu Perang Dingin.
Di tahun 1957, kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama untuk penggunaan tenaga nuklir untuk kepentingan sipil.
Perjanjian itu merupakan bagian dari program "Atom untuk Perdamaian" yang digagas Presiden AS saat itu, Dwight D Eisenhower.
Satu dekade kemudian, AS menyediakan reaktor nuklir dan uranium untuk bahan bakar bagi Iran.
Baca juga: Eks Jenderal Israel: Kami Tak Siap Hadapi Rudal Iran dan Proksinya, Seluruh Negara Akan Hancur
Kolaborasi nuklir tersebut berlanjut selama 12 tahun berikutnya.
Pada 1972, Presiden AS saat itu, Richard Nixon, mengunjungi ibu kota Iran, Teheran.
Namun, meskipun hubungan antara pemerintah AS dan para penguasa Iran berkembang pesat, rakyat Iran menderita di bawah elit yang korup dan penguasa yang semakin diktator.
Kerusuhan sipil yang terjadi menyebabkan Revolusi Islam 1979 di Iran.
Pahlavi digulingkan dan akhirnya berlindung di bawah 'ketiak' AS.
Pemimpin revolusi, Ayatollah Ruhollah Khomeini, membentuk republik baru dan mengalihkan fokus negara dari Barat.
Setahun setelahnya, tepatnya pada bulan April 1980, AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
AS juga mendukung Irak dalam perang Iran-Irak tahun 1980-1988 yang menewaskan ratusan ribu orang di kedua belah pihak.
Pada 1988, Angkatan Laut AS menembak jatuh pesawat sipil Iran. Seluruh 290 orang di dalamnya tewas.
Pada awal 1990-an, AS meningkatkan sanksi terhadap Iran, berusaha mencegah militer Teheran memperoleh persenjataan canggih.
Pencairan singkat hubungan terjadi pada 1998, ketika Menteri Luar Negeri AS saat itu, Madeleine Albright, bertemu dengan wakil menteri luar negeri Iran dan diplomat lainnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pertemuan tingkat tertinggi sejak tahun 1979, meskipun tidak ada pembicaraan langsung.
Pada 2002, setelah serangan 11 September di Kota New York dan Washington, DC, Presiden AS saat itu, George W Bush, menggambarkan Iran sebagai bagian dari "Poros Kejahatan", bersama Korea Utara dan Irak.
Di bulan Januari 2020, ketegangan semakin meningkat ketika AS membunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani , Kepala Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, dalam serangan drone di Baghdad, Irak.
Berselang satu tahun setelahnya, Presiden AS, Joe Biden, berjanji untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir dengan Iran, tetapi setelah beberapa putaran pembicaraan, kesepakatan itu tetap terancam.
Baca juga: 2 Kemungkinan Skenario Iran Serang Israel, Teheran Diprediksi akan Bombardir Pertahanan Tel Aviv
Kini, hubungan Iran dan AS kembali memanas setelah tewasnya Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran pada 31 Juli 2024.
Meski Israel belum mengakui ataupun membantahnya, laporan menyebut Tel Aviv langsung menghubungi AS setelah Haniyeh tewas, mengatakan pembunuhan itu merupakan perbuatan mereka.
Selain tewasnya Haniyeh, serangan Israel di Gaza juga membuat Iran "memusuhi" Tel Aviv dan AS.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)