TRIBUNNEWS.COM, VATIKAN - "Dari terowongan perang menuju terowongan persaudaraan."
Demikian Tajuk Rencana media Vatikan "Vatikan News" mengulas soal rencana Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik se-Dunia dan Kepala Negara Vatikan Paus Fransiskus akan mengunjungi 'Terowongan Silaturahmi' saat mengunjungi Jakarta 3-6 September 2024.
Seperti diketahui Terowongan Silaturahmi adalah sebuah terowongan yang dibangun tahun lalu menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta.
Berikut ulasannya :
Ada terowongan perang dan teror, yang dirancang untuk menyembunyikan tentara, militan, dan sandera.
Namun, ada juga terowongan yang dibangun untuk memupuk persahabatan di antara orang-orang yang berbeda agama.
Di Jakarta, Masjid Istiqlal, yang terbesar di Asia Tenggara, berdiri di seberang Katedral Katolik Our Lady of the Assumption, hanya dipisahkan oleh jalan raya tiga jalur.
Baru-baru ini, sebuah jalan bawah tanah tua yang menghubungkan kedua tempat ibadah ini dipugar, dihiasi dengan karya seni, dan diubah menjadi "Terowongan Persaudaraan" untuk menyatukan tempat ibadah umat Muslim dengan tempat ibadah umat Kristen untuk merayakan Ekaristi.
Dalam dunia yang diliputi konflik, sebagian diliput secara luas oleh media, sebagian lainnya hampir dilupakan, di mana kekerasan dan kebencian tampaknya merajalela, kita sangat membutuhkan jalan persahabatan, peluang untuk berdialog, dan komitmen terhadap perdamaian karena kita adalah " Fratelli tutti " ("semua bersaudara").
Inilah pesan yang disampaikan oleh Penerus Petrus, seorang pembangun jembatan, kepada kita.
Pada hari Senin, Paus Fransiskus memulai Perjalanan Apostolik terpanjangnya, dengan mengunjungi Asia dan Oseania.
Rencana perjalanannya dimulai di Indonesia—negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia—dan berlanjut ke Papua Nugini, Timor Leste, dan terakhir Singapura.
Ziarah yang dilakukannya bertujuan untuk menunjukkan kedekatan dengan umat Kristiani di tempat yang hanya berupa “kawanan kecil,” seperti di Indonesia, atau tempat yang merupakan hampir seluruh populasi, seperti di Timor-Leste.
Perjalanan ini juga merupakan kesempatan untuk bertemu semua orang dan menegaskan kembali bahwa kita tidak dikutuk pada tembok, hambatan, kebencian, dan kekerasan karena pria dan wanita dengan agama, suku, dan budaya yang berbeda dapat hidup berdampingan, saling menghormati, dan berkolaborasi.