TRIBUNNEWS.COM - Sebuah kapal yang membawa puluhan imigran tenggelam di lepas pantai Prancis, di Selat Inggris pada Selasa (3/9/2024).
Diberitakan oleh BBC, 12 orang tewas dalam insiden tersebut.
Menurut Kantor Kejaksaan Setempat, rincian dari korban tewas itu adalah 10 perempuan dan dua laki-laki.
Enam anak dan seorang wanita hamil termasuk di antara 12 orang yang tewas itu.
Menurut Wali Kota Boulogne-sur-Mer, Frédéric Cuvillier, hampir 70 orang berada di dalam kapal tersebut.
Diberitakan oleh CNN, petugas darurat menyelamatkan 53 orang dan mengevakuasi jenazah.
Beberapa dari mereka yang diselamatkan berada dalam kondisi kritis dan memerlukan perawatan medis segera.
Tiga helikopter, dua kapal penangkap ikan, dan dua perahu telah dikerahkan dalam operasi pencarian dan penyelamatan.
Jaksa Boulogne-sur-Mer, Guirec Le Bras, meyakini sebagian besar imigran di kapal tersebut tampaknya berasal dari Eritrea, meski mereka belum dapat mengidentifikasi kewarganegaraan para korban secara pasti.
Dikutip dari BBC, menurut para pejabat, penyebab kapal itu tenggelam karena kelebihan muatan dan bagian bawahnya "robek."
Lebih lanjut, Le Bras mengatakan tampaknya kapal itu tenggelam sekitar 5 kilometer di lepas pantai Cap Gris-Nez, di pantai utara Prancis.
Baca juga: Protes Anti Imigran Muslim di Inggris Terus Meningkat, Keamanan Masjid Seluruh Britania Ditingkatkan
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, mengatakan bahwa kurang dari delapan orang penumpang memiliki jaket pelampung.
"Tentu saja, ini adalah tragedi. Begitu seseorang kehilangan nyawa di wilayah kami, saya tentu ingin memiliki pikiran yang penuh belas kasih untuk keluarga mereka," ujar Darmanin.
"Mereka pasti mengharapkan dunia yang lebih baik di Inggris Raya," sambungnya.
Satu sumber menduga penyelundup Suriah mungkin terlibat.
Insiden mematikan seperti ini telah terjadi beberapa kali selama kurun waktu tersebut.
Agustus lalu, enam orang tewas ketika sebuah kapal yang membawa puluhan imigran terbalik.
Isu ini menjadi kendala politik utama bagi pemerintahan Konservatif sebelumnya.
Pemerintahan Konservatif itu dikritik oleh kelompok hak-hak migran karena retorika garis kerasnya terhadap pencari suaka, dan bagi pemerintahan Buruh yang baru.
Kepala misi Prancis untuk Médecins Sans Frontières, Xavier Crombé, menyalahkan kebijakan pemerintah Prancis dan Inggris atas insiden tersebut.
"Kami terkejut dan marah setelah tragedi baru ini di Selat Inggris," tutur Crombé pada Selasa.
"Kematian ini bukan sesuatu yang tak terelakkan, tetapi konsekuensi tragis dari kebijakan migrasi yang tidak manusiawi dan tidak masuk akal," imbuhnya.
Crombé mengatakan bahwa kebijakan saat ini lebih mengutamakan kontrol perbatasan daripada nyawa manusia.
Sehingga membuat perjalanan migran lebih berbahaya dan membahayakan.
(mg/Putri Amalia Dwi Pitasari)
Penulis adalah peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS).