Satuan Elite Navy SEAL Team 6 yang Bunuh Osama bin Laden Sibuk Bersiap Hadapi Potensi Invasi China ke Taiwan
TRIBUNNEWS.COM - Pasukan elite angkatan laut Amerika Serikat, SEAL Team 6, dilaporkan sudah menghabiskan lebih dari setahun untuk merencanakan dan berlatih menghadapi kemungkinan invasi Tiongkok ke Taiwan di pangkalan Dam Neck di Virginia Beach, menurut FT dikutip Sabtu (14/9/2024).
Rencana kontinjensi satuan elite tersebut — seperti sebagian besar misinya — sangat dirahasiakan.
Orang-orang yang mengetahui perencanaannya tidak memberikan perincian misi spesifik apa yang sedang dipersiapkannya.
Baca juga: Fokus AS Bukan Lagi Indo-Pasifik, Kapal-Kapal Perang ke Timur Tengah untuk Show of Force ke Iran
"Meskipun tujuan resmi SEAL Team 6 adalah untuk menguji, mengevaluasi, dan mengembangkan teknologi dan taktik untuk semua pasukan perang khusus angkatan laut, secara tidak resmi mereka terlibat dalam misi-misi sensitif di seluruh dunia. Ini termasuk pertempuran di Afghanistan pada tahun 2002, kehadiran di Yaman, Suriah, dan Somalia pada awal tahun 2000-an, dan serangan pembunuhan malam hari di kompleks kediaman Osama bin Laden di Pakistan pada tahun 2011," tulis laporan FT.
Komando Operasi Khusus, yang mengawasi komando yang bertanggung jawab atas Tim SEAL 6, memberi tahu FT untuk merujuk pertanyaan tentang persiapan unit di Taiwan ke Pentagon.
Pentagon kemudian menolak mengomentari rincian tertentu dari operasi yang tengah disiapkan Navy SEAL Team 6 tersebut.
Seorang juru bicara mengatakan Departemen Pertahanan dan pasukannya "mempersiapkan dan berlatih untuk berbagai kemungkinan", menurut FT.
Invansi Diprediksi Tiga Tahun Lagi
Laporan tersebut juga menyatakan, persiapan telah diintensifkan sejak Phil Davidson, komandan Indo-Pasifik AS, memperingatkan pada tahun 2021 kalau China kemungkinan besar akan menginvasi Taiwan pada tahun 2027.
Pakar militer dan mantan pejabat pertahanan AS, mengatakan tanda-tanda menunjukkan potensi aksi militer China untuk merebut pulau itu secara paksa, mungkin hanya dalam beberapa tahun mendatang.
Niat China tersebut, terliat dari sejumlah langkah, termasuk modernisasi cepat angkatan bersenjatanya selama dua dekade terakhir, dan latihan di sekitar Taiwan.
Namun, para ahli dari American Enterprise Institute dan Institute for the Study of War memperingatkan pada bulan Mei kalau langkah pemaksaan agresif China — yang tidak sampai perang tetapi tetap mengancam — lebih mungkin terjadi daripada invasi skala penuh.
"Dua lembaga analis geopolitik dan keamanan itu juga merekomendasikan kalau AS perlu bersiap untuk kemungkinan seperti itu," tambah laporan tersebut.
Komandan Indo-Pasifik AS Laksamana Samuel Paparo mengatakan kepada surat kabar Nikkei Jepang pada bulan Mei kalau latihan militer China selama dua hari di sekitar pulau itu tampak seperti latihan untuk invasi.
Namun, tidak jelas apakah AS atau sekutunya akan terlibat secara militer jika China benar-benar menginvasi Taiwan.
Selama beberapa dekade, AS telah mengadopsi "ambiguitas strategis" terhadap Taiwan, memposisikan dirinya sebagai sekutu paling setia negara itu, sambil menolak untuk secara eksplisit mengatakan apakah akan membantu Taiwan jika Tiongkok menyerang.
Menurut laporan bulan Juni dari lembaga pemikir Amerika RAND Corp, AS — jika memutuskan untuk mempertahankan Taiwan dari invasi China — kemungkinan AS harus melakukannya sendiri karena beberapa sekutu terbesarnya tidak mungkin mengerahkan pasukan.
Uni Eropa, yang mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai satu-satunya pemerintahan sah China, mengatakan pada bulan Juli bahwa mereka akan bekerja sama dengan mitra regional untuk "China" Tiongkok menginvasi Taiwan.
(oln/ft/bi/*)