News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Aksi Penggerebekan IDF di Kantor Al Jazeera Tuai Kecaman dari Kelompok Pers

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Whiesa Daniswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasukan IDF bertopeng lengkap dengan membawa sejumlah senjata tempur memaksa masuk gedung siaran, menyusuri tiap lorong studio TV yang menjadi kantor pusat biro Al Jazeera di Tepi Barat. Penggrebekan itu dilakukan sembari menuduh saluran TV Al Jazeera telah membantu kelompok perlawanan Palestina Hamas.

TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah pihak mengecam aksi penggerebekan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Kantor Berita Al Jazeera pada Minggu (22/9/2024) kemarin.

Kemarin Minggu (22/9/2024) pagi, tentara Israel menyerbu kantor jaringan yang berpusat di Qatar dan memerintahkan penutupan selama 45 hari.

Penggerebekan itu, yang terekam dalam siaran langsung TV.

Terlihat Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bersenjata lengkap menyerahkan surat perintah pengadilan militer Israel kepada Kepala Biro Al Jazeera, Walid al-Omari.

Sejak perang di Gaza dimulai, empat wartawan Al Jazeera telah tewas ketika kantor jaringan tersebut di wilayah yang terkepung itu dibom.

Total, tercatat ada 173 wartawan telah tewas di Gaza sejak perang dimulai pada Oktober tahun lalu.

Kendati demikian, Israel mengklaim tidak menargetkan wartawan.

Berikut ini Tribunnews rangkum beberapa pihak yang geram dengan aksi penggerebeken Israel di Kantor Al Jazeera.

Kelompok Kebebasan Pers 

Kelompok kebebasan pers dan aktivis hak asasi manusia (HAM) mengutuk tindakan militer Israel yang secara paksa menutup Kantor Al Jazeera di Ramallah, di Tepi Barat yang diduduki.

Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai serangan terhadap jurnalisme.

Kepala Biro Al Jazeera

Baca juga: IDF Bersenjata Lengkap Gerebek Kantor Al Jazeera, Perintahkan Tutup dalam 45 Hari

Kepala Biro Al Jazeera, Walid al-Omari mengatakan perintah pengadilan tersebut menuduh Al Jazeera melakukan "hasutan dan dukungan terhadap terorisme" dan bahwa tentara Israel menyita kamera biro tersebut sebelum pergi.

“Menarget jurnalis dengan cara ini bertujuan untuk menghapus kebenaran dan mencegah orang mendengar kebenaran,” katanya.

Selama penggerebekan itu, tentara Israel juga merobohkan poster jurnalis Palestina-Amerika yang dibunuh, Shireen Abu Akleh, yang dipajang di dinding kantor tersebut, kata al-Omari.

Penggerebekan kantor Ramallah terjadi lima bulan setelah Israel menutup operasi saluran berita tersebut di Yerusalem Timur yang diduduki dan mencabutnya dari penyedia kabel.

Komite Perlindungan Jurnalis 

Dalam sebuah pernyataan, Komite Perlindungan Jurnalis mengatakan pihaknya "sangat khawatir" oleh serangan Israel, hanya beberapa bulan setelah Israel menutup operasi Al Jazeera di Israel setelah menganggapnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.

“Upaya Israel untuk menyensor Al Jazeera sangat merusak hak publik terhadap informasi tentang perang yang telah menjungkirbalikkan begitu banyak kehidupan di wilayah tersebut,” katanya.

“Jurnalis Al Jazeera harus diizinkan untuk melaporkan berita pada saat kritis ini, dan terus menerus.”

Reporters Without Borders 

Dalam pernyataan singkat tentang X, Reporters Without Borders (RSF) mengatakan bahwa mereka "mengecam serangan gencar Israel" terhadap Al Jazeera.

RSF sebelumnya telah menyerukan pencabutan undang-undang Israel yang memungkinkan pemerintah menutup media asing di Israel, "yang menargetkan saluran Al Jazeera".

Serikat Jurnalis Palestina

Serikat Jurnalis Palestina mengecam “keputusan militer sewenang-wenang” Israel, menyebutnya sebagai “agresi baru terhadap pekerjaan jurnalistik dan outlet media”.

“Kami menyerukan kepada entitas dan lembaga yang peduli terhadap hak jurnalis untuk mengutuk keputusan ini dan menghentikan pelaksanaannya,” kata kelompok tersebut.

Otoritas Palestina 

Otoritas Palestina mengatakan operasi Israel terhadap Al Jazeera di Ramallah adalah “pelanggaran mencolok” terhadap kebebasan pers.

Al Jazeera telah memberikan liputan luas mengenai serangan militer Israel yang hampir berlangsung setahun di Gaza dan lonjakan kekerasan paralel terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki.

Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi

Menteri Komunikasi Israel, Shlomo Karhi membenarkan penutupan biro Al Jazeera pada hari Minggu (22/9/2024).

Ia menyebut jaringan tersebut sebagai “corong” Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon yang didukung Iran.

“Kami akan terus melawan jalur musuh dan memastikan keselamatan para pejuang heroik kami,” katanya.

Jaringan Media Al Jazeera 

Dalam sebuah pernyataan, Jaringan Media Al Jazeera mengatakan pihaknya “mengutuk keras dan mencela tindakan kriminal oleh pasukan pendudukan Israel”.

“Al Jazeera menolak tindakan kejam tersebut, dan tuduhan tidak berdasar yang diajukan oleh otoritas Israel untuk membenarkan penggerebekan ilegal ini,” katanya.

Berbicara melalui telepon dari Ramallah, Nida Ibrahim dari Al Jazeera mengatakan penggerebekan di Tepi Barat dan perintah penutupan itu "tidak mengejutkan" setelah larangan sebelumnya untuk melaporkan berita dari dalam Israel.

Baca juga: Pasukan Israel Gerebek Kantor TV Al Jazeera di Tepi Barat, Perintahkan Tutup Siaran Selama 45 Hari

Dituding sebagai Agen Hamas

Militer Israel menuduh jurnalis dari media milik Qatar itu sebagai "agen teroris" yang berafiliasi dengan Hamas di Gaza.

Al Jazeera membantah tuduhan tersebut dan mengatakan pemerintah dan militer Israel secara tidak proporsional telah menarget reporternya.

Akses media dibatasi di Gaza. Israel mengatakan pada awal perang bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis.

Pengawas media mengatakan bahwa jurnalis berperan penting dalam meliput konflik tersebut, dan bahwa sebagai warga sipil tidak seharusnya mereka menjadi sasaran.

Di antara korban sipil yang berjatuhan dalam perang Israel-Hamas di Jalur Gaza, 116 adalah jurnalis dan pekerja media, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ).

Empat di antaranya merupakan jurnalis yang bekerja untuk Al Jazeera.

CPJ mengatakan perang Israel-Hamas merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak lembaga itu mulai mencatat jumlah jurnalis yang tewas sejak 1992.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini