Secara khusus, negara-negara BRICS mempertimbangkan penggunaan instrumen elektronik sebagai wujud utama mata uang tersebut daripada fisik seperti koin atau kertas.
"Kami sedang melihat kemungkinan memperluas penggunaan mata uang nasional dan penyelesaian, serta ingin menetapkan alat yang akan membuat ini aman dan terjamin." lanjut Putin.
Putin juga mengatakan bahwa BRICS harus menyiapkan sebuah toolkit yang akan diawasi oleh lembaga-lembaga BRICS terkait guna mengawasi mata uang baru tersebut.
"Kami akan membicarakannya selama (Kazan) summit. Kami sudah berkonsultasi dengan teman-teman dari China dan India, serta Brasil. Kami juga telah melakukan konsultasi dengan Afrika Selatan." pungkas Putin.
Menanggapi gagasan tersebut, sejumlah negara anggota BRICS tampaknya setuju dengan wacana yang disampaikan oleh Putin.
Hal ini diungkapkan oleh negara baru anggota BRICS, seperti Mesir.
Mantan duta besar Mesir untuk China, Magdy Amer mengakui negaranya juga sedang menjajaki kemitraan pembayaran bilateral serupa yang diusulkan Vladimir Putin..
"Beberapa negara BRICS telah memulai model pembayaran ini secara bilateral," kata Amer seperti yang dikutip dari Channel News Asia pada Senin (21/10/2024).
Adapun kemitraan tersebut merujuk pada kerjasama antara Rusia dan China serta Rusia dan India.
"Di Mesir, kami juga mulai menjalin kerjasama ini dengan China. Ini adalah tren saat ini dan merupakan langkah penting yang harus diambil oleh BRICS." lanjut Amer.
Profesor Kirill Koktsyh dari departemen teori politik Universitas MGIMO, Rusia juga turut buka suara terkait usulan Putin tersebut.
Kirill mengaku Rusia harus meyakinkan seluruh anggota BRICS untuk menemukan suara bersama terkait sistem tersebut.
“Apalagi jumlah negara (yang bergabung dengan BRICS) sekarang mencapai dua kali lipat dari anggota awal” ungkap Kirill.
Jika opsi mata uang baru ini gagal mendapatkan dukungan, Kirill menilai Moskow sudah memiliki rencana lain.