TRIBUNNEWS.COM - Jelang Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) pada Selasa (5/11/2024) malam, berbagai prediksi mencuat menganalisa peluang dua kandidat menang.
Baik Kamala Harris dan Donald Trump menjadi jagoan masing-masing pakar kendati perhitungan suara bakal berlangsung hingga beberapa hari ke depan setelah pencoblosan digelar malam hari.
Dimulai dari sineas Michael Moore yang berani memprediksi kemenangan Kamala Harris.
Bahkan menurutnya, calon presiden perempuan tersebut bakal menang besar dari lawannya, Trump.
"Hari Selasa menjadi hari terakhir kita melihat (Trump)," ujarnya dikutip dari Raw Story.
Menulis di berandanya, Moore menunjuk pada analisis yang ditulis oleh ilmuwan politik Rachel Bitcofer, yang ia gambarkan sebagai "satu-satunya pencatat jajak pendapat yang dihormatinya."
Moore melanjutkan dengan menggambarkan analisis Bitecofer sebagai "perasaan naluriahnya yang sangat mendalam tentang betapa bahagianya kita pada akhir minggu ini," meskipun faktanya jajak pendapat saat ini menunjukkan persaingan ketat antara Trump dan Harris.
Menurut Bitecofer, Trump dan kampanyenya telah melakukan kesalahan fatal dalam mencoba mendongkrak partisipasi pemilih laki-laki pada pemilu 2024 tanpa memahami reaksi keras yang dapat ditimbulkannya di kalangan pemilih perempuan.
"Sekarang, untuk lebih jelasnya, kesenjangan gender yang kita lihat dalam data pendaftaran dan pemungutan suara awal tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat pada tahun 2020 dan 2022," tulisnya.
"Namun, Demokrat tidak membutuhkan kesenjangan yang lebih besar lagi, kesenjangan itu sudah sangat besar dan Joe Biden menang dengan kesenjangan gender itu."
"Yang dibutuhkan Demokrat adalah mempertahankan keunggulan itu dalam menghadapi 2 tahun dan investasi jutaan dolar dari Trump dan super PAC Republik untuk mendorong lebih banyak pria ke tempat pemungutan suara guna memaksimalkan kesenjangan gender mereka sendiri untuk mengimbangi kesenjangan kita. Dan tidak ada sedikit pun bukti yang menunjukkan bahwa mereka telah berhasil dalam upaya ini."
Baca juga: Kamala Harris atau Donald Trump, Siapa Lebih Disukai Rusia untuk Menjadi Presiden AS Berikutnya?
Bitcofer juga menunjukkan upaya yang dilakukan kampanye Harris dalam menarik pemilih kulit putih berpendidikan perguruan tinggi dari GOP semakin membuahkan hasil.
"Namun, ada tanda-tanda kuat bahwa Demokrat akan terus merambah kalangan pemilih kulit putih berpendidikan perguruan tinggi, seperti yang telah mereka lakukan di setiap siklus sejak Trump menuruni eskalator emasnya untuk memulai debut politik kebenciannya yang khas," ungkapnya.
"Dalam siklus ini, kampanye Harris secara khusus menargetkan para pemilih ini dengan pesan yang dirancang untuk menghancurkan loyalitas merek mereka terhadap Partai Republik. Sejauh jajak pendapat Selzer akhir pekan ini di Iowa menunjukkan, hal itu berhasil."