News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilihan Presiden Amerika Serikat

6 Kesalahan Demokrat yang Berujung Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS 2024

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Whiesa Daniswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang-orang bereaksi saat Wakil Presiden AS Kamala Harris berpidato di Universitas Howard di Washington, DC, pada 6 November 2024.

TRIBUNNEWS.COM - Setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, muncul pertanyaan tentang bagaimana ia bisa menang atau kesalahan strategi apa yang mungkin dilakukan lawannya, Partai Demokrat.

Pada Rabu (6/11/2024) pagi, Trump berhasil mengamankan suara elektoral yang dibutuhkan untuk memenangkan kembali Gedung Putih.

Trump berhasil mengalahkan Wakil Presiden Kamala Harris, wanita non-kulit putih pertama yang mencalonkan diri untuk posisi tertinggi dalam partai besar di AS.

Kemenangan ini menjadi kemenangan kedua Trump melawan seorang wanita.

Pada pemilu presiden tahun 2016, Trump mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Promosi Harris sebagai kandidat utama Demokrat memang tidak biasa. 

Harris menjadi calon presiden karena Joe Biden, 81, memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali, diduga karena masalah kesehatan terkait usianya yang sudah lanjut.

Berdasarkan analisis dari Newsweek, berikut 6 kesalahan yang dilakukan Demokrat hingga gagal memenangkan pemilihan presiden AS 2024:

Calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden AS Kamala Harris, berpidato di Universitas Howard di Washington, DC, pada 6 November 2024. - Donald Trump meraih kemenangan telak pada 6 November 2024 dalam pemilihan presiden AS, mengalahkan Kamala Harris untuk menyelesaikan kebangkitan politik yang mencengangkan yang mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh dunia. (Photo by ANGELA WEISS / AFP) (AFP/ANGELA WEISS)

1. Pengunduran Diri Biden yang Tiba-Tiba

Joe Biden memutuskan untuk membatalkan pencalonannya dalam Pilpres 2024 dan mendukung Harris sebagai kandidat Demokrat pada 21 Juli.

Keputusan ini datang hanya tiga bulan sebelum Hari Pemilihan, yang secara signifikan mengubah persaingan.

Biden mengundurkan diri setelah berminggu-minggu mendapat tekanan dari sesama Demokrat yang khawatir dengan performanya, terutama setelah penampilannya yang dianggap buruk dalam debat calon presiden pada bulan Juni.

Banyak yang khawatir bahwa usia Biden yang telah menginjak 81 tahun membuatnya sulit untuk mengalahkan Trump.

Beberapa orang berpendapat, jika Biden mundur lebih awal, Demokrat akan punya lebih banyak waktu untuk mencari penggantinya.

2. Tidak Ada Kontes yang Proper untuk Mencari Pengganti Biden

Jika Biden mundur lebih awal, Demokrat mungkin bisa mengadakan pemilihan pendahuluan yang sangat singkat untuk memilih kandidat yang benar-benar mewakili perubahan dari pemerintahan saat ini dan cukup kuat untuk mengalahkan Trump.

Namun kenyataannya, Harris dipilih begitu saja oleh Partai Demokrat tanpa adanya proses pemilihan pendahuluan.

Beberapa pihak mengkritik bahwa pemilihan ini kurang demokratis.

3. Pemilihan Wakil Presiden untuk Kamala Harris

Kamala Harris dan Tim Walz (Instagram @kamalaharris/@timwalz)

Dengan memilih Gubernur Minnesota, Tim Walz, sebagai calon wakil presidennya, Harris berharap dapat mempertahankan dukungan di negara bagian Midwest seperti Michigan dan Wisconsin.

Namun, pemilihan Walz tampaknya tidak membawa pengaruh besar.

Harris-Walz gagal memenangkan Wisconsin dan Michigan, meskipun hasil resmi belum diumumkan.

Biden berhasil memenangkan kedua negara bagian tersebut pada tahun 2020 dengan selisih tipis.

Pemilihan Walz juga mengecewakan para pendukung Gubernur Pennsylvania, Josh Shapiro.

Shapiro dianggap lebih mampu membantu Demokrat memenangkan Pennsylvania, negara bagian medan pertempuran terbesar dalam pemilihan ini. 

Baca juga: Putin Diam-diam Beri Ucapan Selamat kepada Donald Trump, Harapkan Kemajuan dalam Perang di Ukraina

4. Membuat Pemilih Arab-Amerika Kecewa

Harris dinilai gagal merespons tuntutan rakyat agar AS mengakhiri dukungannya terhadap perang Israel di Gaza.

Sikap ini membuat Harris kehilangan dukungan di negara bagian medan pertempuran seperti Michigan, yang memiliki konsentrasi pemilih Arab-Amerika terbesar.

Trump memenangkan Dearborn, sebuah kota dengan penduduk keturunan Arab yang cukup signifikan, setelah Biden sebelumnya menang dengan selisih besar di daerah tersebut.

Nihad Awad, direktur eksekutif nasional Council on American-Islamic Relations (CAIR), mengatakan kepada Newsweek bahwa penurunan dukungan terhadap Harris sebagian besar disebabkan oleh kekecewaan mendalam yang dirasakan pemilih muda, Muslim, Arab, dan lainnya atas dukungan pemerintahan Biden-Harris terhadap Israel.

5. Kehilangan Dukungan Pemilih Latino

Harris juga dinilai kurang berhasil membangkitkan semangat salah satu kelompok pemilih yang tumbuh paling cepat dan semakin berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu pemilih Latino.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa Harris tampil lebih buruk dibanding Biden di mata pemilih Latino.

Banyak pria Latino beralih ke Trump, yang menjanjikan kebijakan deportasi massal terhadap imigran ilegal.

Grant Davis Reeher, seorang profesor ilmu politik di Universitas Syracuse, mengatakan bahwa dukungan terhadap Trump di antara pemilih Latino mungkin mencatat rekor baru bagi Partai Republik.

6. Strategi Digital yang Kurang Efektif

Donald Trump menyapa Elon Musk, CEO SpaceX dan Tesla, sebelum forum kebijakan dan strategi dengan para eksekutif di Ruang Makan Negara Gedung Putih 3 Februari 2017 di Washington, DC (Brendan Smialowski / AFP)

Media sosial juga berperan penting dalam kemenangan Trump.

Kampanye Kamala Harris menganut strategi digital-first dan membatasi wawancara dengan media tradisional, namun jangkauan kampanyenya di media sosial kalah jauh dibandingkan Trump.

Elon Musk, pemilik X (sebelumnya Twitter), menggunakan platform tersebut untuk memperkuat pesan kampanye Trump, termasuk menyelenggarakan undian berhadiah $1 juta per hari di negara bagian medan pertempuran.

Matt McDermott, seorang ahli strategi Demokrat, mengatakan bahwa Partai Demokrat perlu mengakui bahwa sebagian besar masyarakat AS sekarang hidup dalam lingkungan media yang mendukung Partai Republik, seperti Fox News dan Twitter, yang bertindak sebagai mesin propaganda.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini