Confucius Institute juga didirikan di Cambodia, Laos dan Singapura, serta Vietnam. Jumlah totalnya mencapai 40 buah.
Menurut Prof Leo, strategi soft power bisa menghapus stigma negatif tentang China selama ini.
"Agar bisa mengekspor soft power ke negara lain, negara tersebut harus kuat dulu. Tidak akan dipandang jika negara tersebut belum jadi negara kuat," kata dia.
Bagaimana dengan Indonesia? "Biarpun belum menjadi negara yang kuat, Indonesia adalah negara besar. Banyak negara besar di dunia seperti AS dan China ingin berbaik-baik dengan Indonesia," ungkap Prof Leo.
Selain Prof. Leo Suryadinata sebagai pembicara utama, seminar ini juga menghadirkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPH Prof Edwin Tambunan, Ph.D, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas President yang juga Sekretaris FSI, Muhammad Farid, M.PA., serta dosen Mikom UPH Dr. Johanes Herlijanto sekaligus Ketua Forum Sinologi Indonesia yang bertindak sebagai moderator.
Hadir pula Ketua Penyelenggara Seminar yang juga Ketua Program Studi Mikom UPH, Dr. Benedictus A. Simangunsong.
Prof. Edwin Tambunan menyatakan, pembahasan mengenai soft power Chinamenghadirkan nuansa yang menyegarkan karena dalam beberapa dasawarsa terakhir diskusi tentang China biasanya terfokus pada aspek hard power seperti kekuatan militer, kepentingan geopolitik, dan ambisi ekonomi glonal mereka.
“Padahal di balik semua itu RRT juga tengah aktif membangun pengaruh yang lebih halus melalui budaya, pendidikan, teknologi dan diplomasi publik,” ujar guru besar di bidang ilmu keamanan dan perdamaian itu," bebernya.
Prof. Edwin berpandangan, studi tentang soft power China memberi perspektif baru yang memungkinkan pemerhati memahami bagaimana RRT bukan hanya menjadi kekuatan ekonomi atau militer saja, tetapi juga menjadi kekuatan dalam aspek budaya dan nilai-nilai.
Sekretaris FSI Muhammad Farid berpendapat, soft power China melalui pendidikan sampai pada tahap tertentu menguntungkan negara itu karena memiliki kontribusi bagi berkembangnya persepsi positif mengenai China.
Ia mencontohkan studi mengenai soft power China kasus di Filipina yang menurutnya sangat menarik untuk diperhatikan.
Dalam studi yang menjadi salah satu bab dalam buku tentang soft power China yang ditulis oleh Prof Suryadinata dan kolega-koleganya itu, dijelaskan bagaimana para sarjana Filipina yang mengenyam pendidikan di China dan memperoleh beasiswa dari China tetap memiliki keyakinan bahwa China tidak pernah menaklukan sebuah negara mana pun, meski pada saat yang sama sedang terjadi kontroversi antara RRT dan Filipina di Laut Filipina Barat.
Meski demikian, Farid berkeyakinan bahwa orang-orang Asia Tenggara memiliki agensi dan kemampuan untuk memberi respons yang bijaksana dan kontekstual terhadap meningkatnya soft power dari RRR.
Dia berharap agar kemampuan memberi respons yang bijaksana ini terus dikembangkan baik oleh para pemangku kebijakan maupun seluruh masyarakat, termasuk para akademisi.
CAPTION:
Profesor Leo Suryadinata di seminar bertajuk “Soft Power RRT Yang Sedang Bangkit dan Dampaknya Terhadap Bidang Pendidikan dan Budaya Populer di Asia Tenggara,” di Jakarta, Selasa, 5 November 2024.