News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Brigade Al Qassam Habisi 3 Tentara Israel dari Jarak Dekat di Beit Lahia Gaza Utara

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petempur Brigade Al Qassam, sayap militer gerakan Hamas Palestina melakukan penyergapan dengan menembaki pasukan Israel di Jalur Gaza.

Brigade Al Qassam Habisi 3 Tentara Israel dari Jarak Dekat di Beit Lahia

TRIBUNNEWS.COM - Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan pada Jumat (16/11/2024) kalau mereka telah menetralisir tiga tentara Israel dari jarak dekat dekat bundaran Abbas Kilani di utara Beit Lahia, Gaza Utara.

Dalam sebuah pernyataan singkat, kelompok itu juga mengaku bertanggung jawab atas sniping (penembakan oleh penembak jitu)seorang tentara Israel di daerah yang sama. 

Baca juga: Sandera Israel yang Ditahan di Gaza Justru Minta Tolong Diselamatkan dari Netanyahu

Selain itu, Brigade Al-Qassam juga mengklaim penargetan tank Merkava 4 Israel dengan alat peledak Shawaz di Dawas Street, sebelah barat kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara.

Baca juga: Kebodohan Berulang, Untuk Ketujuh Kalinya Pasukan Israel Kembali ke Al-Zaytoun Gaza

Meningkatnya korban Jiwa Tentara Israel

Menurut angka terbaru dari militer Israel, jumlah korban tewas telah mencapai 794 tentara sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023 silam. 

Dari jumlah tersebut, 373 tentara telah tewas sejak dimulainya invasi darat pada tanggal 27 Oktober.

Agresi juga telah mengakibatkan 5.360 cedera di antara pasukan Israel, termasuk 781 personel dalam kondisi kritis.

Militer Israel (IDF) menggunakan helikopter mengevakuasi anggota pasukan yang terluka dalam agresi militer darat ke Lebanon Selatan dalam perang melawan Hizbullah. (khaberni)

Operasi Banjir Al Aqsa

Brigade Qassam, memprakarsai Operasi Banjir Al Aqsa pada 7 Oktober 2023, sebagai tanggapan atas penindasan Israel di wilayah Palestina yang diduduki.

Sebagai pembalasan atas serangan lintas-teritorial itu, militer Pendudukan Israel meluncurkan kampanye militer yang disebut “Iron Swords,” melakukan serangan udara besar-besaran di Gaza. 

Serangan 'Israel' telah menyebabkan korban yang signifikan, dengan ratusan warga Palestina tewas dan ribuan terluka, bersama dengan kerusakan luas bangunan tempat tinggal, infrastruktur, dan lembaga-lembaga publik.

Wanita polisi Israel mengamankan seorang pengunjuk rasa dalam demonstrasi menentang wajib militer bagi kaum Yahudi Ultra-Ortodoks Haredi. (khaberni)

Ribuan Yahudi Ultra-Ortodoks Wajib Ikut Perang

Terkait kondisi militer Israel, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu melayangkan surat perintah bagi 7.000 warga Yahudi Ultra-Ortodoks untuk ikut berperang bersama pasukan pertahanan Israel (IDF) di Gaza dan Lebanon.

Menurut pernyataan Kementerian Pertahanan Israel, perintah wajib militer akan dikeluarkan secara bertahap, dimulai pekan depan, setelah evaluasi militer rampung digelar.

"Pendaftaran 7 ribu orang Haredim untuk bertugas di Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan dikeluarkan secara bertahap, dimulai pada Minggu setelah evaluasi militer," kata Katz  dikutip dari Anadolu Agency.

Sejauh ini rincian bagaimana proses ini akan berlangsung masih belum jelas.

Namun Menteri Pertahanan Israel Katz berencana mengadakan diskusi dengan pihak-pihak terkait untuk mencari kompromi yang akan membantu mengintegrasikan Yahudi ultra-Ortodoks (Haredim) ke dalam militer.

Katz juga berjanji akan memastikan tentara ultra-Ortodoks mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk memenuhi tugas-tugas mereka di militer, di samping mempertahankan gaya hidup religius mereka.

Pernyataan itu datang menyusul putusan Mahkamah Agung Israel pada Juni, yang mengamanatkan kaum Yahudi Haredi untuk ikut berpartisipasi ke dalam medan perang bersama dengan warga negara Israel lainnya.

Warga Ultra-Ortodoks Ancam Tinggalkan Israel

Merespon perintah wajib militer yang dirilis PM Netanyahu, ribuan warga Haredi ultra-Ortodoks pilih membangkang.

Penolakan dilakukan warga Yahudi Ultra-Ortodoks lantaran mereka menilai keputusan Netanyahu bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Agung Israel.

Ini karena Ultra-ortodoks merupakan warga kelas agamawan Israel yang difokuskan khusus urusan agama.

Sehingga Kaum ultra-Ortodoks mengklaim hak mereka hanya untuk belajar di pendidikan khusus agama bukan untuk bertugas di militer atau menjadi pegawai negeri sipil.

Baca juga: Netanyahu Siapkan Rencana Aneksasi Tepi Barat Pasca Kemenangan Trump

Tak sampai disitu, Kaum ultra-Ortodoks  juga mengancam akan meninggalkan negara Israel jika mereka dipaksa masuk militer.

“Jika mereka memaksa kami untuk bergabung dengan militer, kami semua akan terbang ke luar negeri, membeli tiket, dan pergi,” ungkap kepala rabi Yahudi Sephardic, dikutip dari Anadolu.

“Mereka (orang Israel yang sekuler) harus memahami bahwa tanpa Taurat, tanpa kollels dan yeshivas (perguruan tinggi Yahudi untuk penelitian Talmud), militer [Israel] tidak akan sukses,” tambah Sephardic.

Gelombang penolakan yang memanas, memaksa Pria ultra-Ortodoks Haredi menggelar demonstrasi besar-besaran di dekat area kantor perekrutan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Yerusalem,

Pada Agustus kemarin, lebih dari 100 pria ultra-Ortodoks ekstremis dilaporkan turun ke jalanan untuk berunjuk rasa di dekat kantor perekrutan IDF, tempat para wajib militer Haredi yang menerima panggilan.

Imbas kerusuhan ini, Lima demonstran ultra-Ortodoks telah ditangkap atas tuduhan melakukan perilaku tidak tertib dan menyerang petugas polisi di Yerusalem.

Israel Krisis Tentara

Rilisnya perintah wajib militer bagi Kaum ultra-Ortodoks memicu spekulasi bahwasanya Israel kini tengah mengalami krisis pasukan.

Terlebih beberapa bulan terakhir sebagian besar tentara cadangan dari batalion perang  menolak perintah Perdana Menteri Netanyahu Benjamin untuk melanjutkan invasi melawan Hamas  di jalur Gaza.

Tidak dijelaskan secara spesifik mengenai alasan mengapa militer Israel kompak menolak perintah perang.

Namun menurut informasi yang dihimpun media lokal Channel 14, pengunduran diri mencerminkan adanya gangguan dalam Unit, akibat ketidaksepakatan antara mereka mengenai pendudukan di Rafah, Gaza, Palestina.

Isu krisis pasukan semakin diperkuat dengan adanya pernyataan dari juru bicara IDF yang mengungkap bahwa pihaknya sangat membutuhkan 7.000 tentara tambahan. 

Selain ribuan pasukan, IDF juga meminta tambahan 7.500 posisi untuk perwira dan bintara.

Jumlah tersebut melonjak dari target yang telah dijadwalkan, menandakan IDF mengalami krisis pasukan di medan perang.

 

 

(oln/rntv/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini