“Bencana-bencana iklim ini gagal menggerakkan pemerintah untuk meneliti dokumen-dokumen kebijakan iklim yang telah dibuat selama bertahun-tahun dan mencari solusi dari dokumen tersebut,” kata jurnalis lingkungan Zofeen T. Ebrahim.
Seorang pengacara Pakistan bahkan menuduh pemerintah Islamabad melanggar hak asasinya karena kelambanan pemerintah dalam memenuhi target adaptasi perubahan iklim mengancam ketahanan pangan dan air.
Kurangnya kesiapan dan kelumpuhan kebijakan telah mempengaruhi kesiapan Pakistan untuk melindungi pertanian dari guncangan perubahan iklim.
Sobia Kapadia, seorang praktisi bantuan kemanusiaan, mengatakan “pemerintahan yang lemah” menyebabkan adanya “tindakan pemadaman kebakaran dan tindakan ad-hoc” setiap kali bencana iklim terjadi. Meskipun pemerintah di Islamabad tampaknya belum menyadari kenyataan ini, para pejabat asing yang tinggal di negara tersebut telah menyuarakan kekhawatirannya.
Sementara itu, Komisaris Tinggi Australia untuk Pakistan Neil Hawkins yang mengunjungi daerah pedesaan di Pakistan menyatakan keprihatinannya atas kelangkaan air yang parah dan dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan dan gizi, terutama bagi anak-anak.
“Pada tahun 2047, Pakistan kemungkinan akan memiliki populasi dua kali lipat dan separuh air yang dimilikinya sekarang. Empat dari setiap sepuluh rumah tangga di Pakistan bergantung pada pertanian untuk penghidupan mereka,” ujar Hawkins.
“Ketahanan pangan mereka sudah menderita. Perempuan dan anak-anak adalah pihak pertama yang terkena dampaknya. Hampir seperlima anak balita menderita gizi buruk akut,” pungkasnya.