TRIBUNNEWS.COM - Rusia memveto resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (18/11/2024) yang menyerukan gencatan senjata dalam konflik di Sudan serta pengiriman bantuan kemanusiaan kepada jutaan warganya.
Mengutip Newsweek, resolusi PBB tersebut disponsori bersama oleh Inggris dan Sierra Leone.
Meskipun resolusi itu mendapat dukungan luas dari anggota Dewan Keamanan PBB lainnya, Rusia, yang memiliki hak veto, memblokir resolusi tersebut.
Apa yang Terjadi di Sudan?
Saat ini, aksi kekerasan meningkat di Sudan.
Bentrok antara kelompok militer Sudan dan faksi paramiliter Sudan sebagian besar melanda ibu kota, Khartoum, dan wilayah Darfur yang bermasalah.
Konflik yang meletus sejak April 2023 itu telah menewaskan lebih dari 24.000 orang dan menyebabkan jutaan lainnya mengungsi.
Pejabat PBB telah berulang kali memperingatkan tentang bencana kelaparan yang mengancam karena pengiriman bantuan kemanusiaan terhambat.
Minggu lalu, kepala politik PBB, Rosemary DiCarlo, menuduh sekutu pasukan Sudan yang bertikai melakukan pembantaian yang telah menewaskan ribuan orang.
Bagaimana Tanggapan Internasional?
Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, yang memimpin pertemuan PBB tersebut, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB:
"Veto Rusia ini memalukan. Sementara Inggris bekerja dengan mitra Afrika untuk mengatasi krisis ini, Rusia memveto keinginan mereka."
AS juga turut memberikan tanggapan pada Senin, menyuarakan kekhawatiran tentang meningkatnya kekerasan di Sudan.
Baca juga: Dukung Sudan Tangani Krisis, BPOM RI Kirim Bantuan Farmasi dan Peningkatan Kapasitas
Presiden Joe Biden mendesak persatuan global selama pidatonya di KTT G20 di Brasil.
"Di Sudan, kita melihat salah satu krisis kemanusiaan paling serius di dunia, delapan juta orang di ambang kelaparan," katanya.
"Ini layak mendapat perhatian kolektif kita. Aktor eksternal harus berhenti mempersenjatai pihak-pihak yang bertikai."
Para kritikus menuduh Rusia mengeksploitasi kekacauan Sudan untuk kepentingan geopolitik.
Duta Besar AS, Linda Thomas-Greenfield, mengecam veto Rusia, menyatakan:
"Sungguh mengejutkan bahwa Rusia telah memveto upaya untuk menyelamatkan nyawa, meskipun mungkin hal ini seharusnya tidak mengejutkan."
Ia menambahkan bahwa selama berbulan-bulan, Rusia telah menghalangi dan mengaburkan langkah-langkah PBB untuk mengatasi situasi bencana di Sudan.
Thomas-Greenfield menyebut Rusia mempermainkan kedua belah pihak yang berkonflik demi tujuan politiknya sendiri, dengan mengorbankan nyawa warga Sudan.
Sebelumnya, laporan menyebutkan bahwa kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan menerima dukungan dari kelompok tentara bayaran Rusia, Grup Wagner.
Sementara itu, pemerintah Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan, dilaporkan mempertahankan hubungan dengan sekutu Rusia dan kekuatan regional, termasuk Mesir dan Iran.
Namun, Sudan menuduh Uni Emirat Arab (UEA) mempersenjatai RSF, klaim yang dibantah UEA.
Para ahli PBB mengatakan dalam sebuah laporan awal tahun ini bahwa RSF menerima dukungan dari komunitas sekutu Arab serta jalur pasokan militer baru yang melewati Chad, Libya, dan Sudan Selatan.
Apa Alasan Rusia Memveto Resolusi PBB?
Mengutip Associated Press, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Dmitry Polyansky, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa Moskow memveto resolusi tersebut karena menurutnya, hanya pemerintah Sudan yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di negara itu.
Masalah utama dengan resolusi tersebut, kata Polyansky, adalah pemahaman yang salah tentang siapa yang bertanggung jawab atas perlindungan warga sipil, pengendalian perbatasan, dan keamanan di Sudan, serta siapa yang berwenang mengundang pasukan asing ke negara tersebut.
Baca juga: 20 Desa Hancur dan 60 Orang Tewas Akibat Bendungan Jebol di Sudan, 200 Orang Masih Hilang
Duta Besar Sudan untuk PBB, Al-Harith Idris, mengatakan negaranya siap bekerja sama dengan semua pihak yang mengutuk RSF dan milisi sekutunya, menghentikan aliran senjata kepada mereka, serta menghormati kedaulatan Sudan melalui rencana untuk melindungi warga sipil.
"Sudan sedang dalam pertempuran eksistensial di mana pilihannya terbatas," katanya.
"Sudan tetap bebas, merdeka, dan bersatu, atau lenyap."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)